Menghadapi Krisis 1/4 Abad Atau Quarter Life Crisis

Selepas kuliah, mungkin… usia 23–25an.

Saya berkuliah di jurusan yang menurut saya tidak saya kuasai, Teknik Informatika. Saya masuk ke sana karena dipilihkan orang tua. Di awal kuliah, IPK saya selalu di bawah 3 hingga akhirnya saya menemukan pelajaran-pelajaran yang setidaknya bisa saya pelajari dibandingkan matematika, fisika, kimia, dan bahasa-bahasa pemrogramman. Saat itu saya menyukai Rancangan Perangkat Lunak dan turunannya. Jadi, nilai saya merangkak naik.

Namun, menguasai mata kuliah tentang analisis dan kawan-kawan tidak cukup meluluskan saya. Saya stress berat ketika tugas akhir. Satu tahun saya pontang-panting. Ada kalanya saya les ke dosen univ lain dan mengulang dari dasar pemprogramman, hingga saya berhenti mengerjakan tugas akhir saya dan mengikuti beberapa kompetisi menulis novel, passion saya.

Puas menyelesaikan beberapa novel, walau tidak menang, saya merasa damai. Lalu, saya mulai berpikir, "Saya bisa lulus nggak, ya? Kalaupun D.O [Drop Out], ya udah. Saya akan lanjut nulis dan kerja di bidang nulis atau jadi editor komik/novel."

Saya pun pasrah jika saya di-D.O. Masa bodoh sudah. Tapi, suatu hari ada keajaiban di mana ketika saya baca koding dan copas sana-sini, programnya jalan… -_-. Trus, seeet… saya lulus juga meski agak telat karena saya lulus di semester ke-10.

Selepas itu, teman-teman sudah mulai kerja di bidang IT atau membuka usaha kuliner dkk. Sementara saya, lulus aja udah bersyukur banget. Saya bingung. Saya nggak bisa terus berada di "neraka" ngoding. Pun, kalau mau jadi analis, ujung-ujungnya saya akan terjerembab lagi di "neraka". Saya merasa, cukup sudah saya di area yang tidak saya sukai selama ini. Cukup saya mencoba bertahan di jurusan yang saya tidak cintai. Saya ingin menjadi diri saya sendiri, melakukan yang saya sukai.

Sejak itu, saya melamar menjadi editor/penulis/proofreader. Saya tidak mau berurusan dengan jurusan itu lagi. Apa pun bentuknya. Namun, saya siapa? Kemampuan nulis saya saja amburadul, EYD nggak becus. Sampai akhirnya saya mendapat kesempatan debut menjadi novelis di bawah Elex Media Komputindo lewat novel kolaborasi, Yesterday in Bandung.

Meski sudah di pintu masuk dunia yang saya sukai, ternyata… saya punya masalah lain, finansial. Saat itu saya juga menjadi freelance. Teman-teman saya memiliki kerjaan yang tetap, gaji cukup, bisa membeli ini-itu, jalan ke sana-sini, berpacaran, menikah, punya anak. Saya masih struggle, uang sulit, kerjaan sulit, jomblo, ditolak oleh gebetan, ditolak menjadi editor. WTH. Hidup tidak adil!

Saya akhirnya menulis novel solo saya di 2016 yang akhirnya terbit di 2017: Dear, Me: Teruntuk Diriku di Masa Lalu. Saya menyuarakan rasa iri, sesal, dan depresi saya di sana. Saat itu, saya benar-benar berpikir, jika saya bisa kembali ke masa lalu atau bertemu diri saya di masa lalu, saya mau dia tidak salah jurusan, saya mau dia nekat masuk jurusan yang mungkin "tidak direstui atau populer". Saya ingin dia lanjut aja ke sastra agar ketika lulus bisa punya kesempatan menjadi editor komik/novel. Sehingga, kerjanya adalah kerjaan yang dicintai, diminati. Saya ingin dia berani. Hal-hal yang tidak bisa saya lakukan di 2016.

Kemudian, saya bertemu gebetan lama saya dan dia menyarankan saya "bermanuver". Dia bilang, kalau saya suka sastra dan mau serius, ambil S2 Sastra UI.

Saya tidak pernah terpikir untuk ambil S2 apalagi sastra? WTH. Tapi, kata-kata itu membuat saya nekat. Saya ambil S2 Susastra dan di tahun 2016 itu, beberapa bulan kemudian… saya menjadi mahasiswi ilmu susastra. Saya belajar hal-hal yang memang saya inginkan, saya haus ilmunya, saya senang dengan pelajaran dan tugasnya (yap, saya senang). Hingga saya lulus tesis, saya melaluinya tanpa hambatan. Mulus sekali kecuali insiden saya nggak pernah lolos beasiswa gara-gara jurusan S1 ke S2 yang tidak linier -_-. Saat itu juga saya menulis dan menerbitkan novel Cuko.

Sebulan dari wisuda, saya diterima menjadi editor web komik di sebuah agensi komik. Semuanya bermanuver. Saya yang di tahun 2015-an skeptis karena tidak pernah lolos tes editor, beberapa tahun kemudian diterima? Ternyata, saya dipertimbangkan karena pengalaman saya menjadi novelis :). Meski, saya tidak bisa menggambar. Saya baru kenalan dengan Photoshop karena kebutuhan sebagai editor komik, mereka mencari editor yang kuat di penceritaan lantaran kudu membimbing komikus untuk mematangkan ide cerita :).

Saya mungkin lebih lambat dari teman-teman saya yang seumuran. Saya baru settle di masa mereka sudah mapan, menikah, dan punya anak. Saat ini pun saya masih berjuang settle dan baru menemukan partner saya tahun lalu di agensi komik tersebut.

Saya bersyukur pernah mengalami quarter life crisis karena saya malah melahirkan karya gara-gara keterpurukan itu. Waktu itu terasa berat, saya nggak tahu jalan mana yang bisa diambil? Apa saya seumur hidup akan seperti itu? Tapi, ternyata bermanuver 180 derajat benar-benar menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Saat ini, saya sudah terbebas dari "neraka" koding [sudah beberapa tahun sih ya].

Saya bangga karena diri saya, yang waktu itu mengalami krisis, mau mencoba bermanuver, tidak terjebak di krisis terus-menerus.

Sekarang, kadang-kadang saya pun di krisis lagi karena saya disudutkan dengan stigma masyarakat oleh keluarga saya. Di mana umur XX harus sudah XX, sementara… masa saya berbeda dengan masa ideal di masyarakat. Saya punya alur yang lambat dari 'ideal'. Seperti yang saya lewati di pertengahan 20, saya belajar untuk menantang diri untuk bermanuver/lakukan saja yang disukai karena yang terpenting adalah diri sendiri bahagia. Diri saya berharga untuk diri saya di masa lalu, sekarang, dan masa depan.

Kecepatan saya memang berbeda dari saudara/sepupu/sahabat/teman/tetangga, tetapi… saya ingin mengizinkan diri saya untuk berbahagia dengan keadaannya sekarang, dengan apa yang ia punyai sekarang, apa yang sedang ia harap/citakan sekarang. Kita tidak sedang berlomba dengan siapa pun.

Ini catatan saya setiap kali saya krisis:

Dengarkan di Soundcloud: Teruntukmu, Diriku

Kau dapati dirimu mengeluh, mempertanyakan masa depan yang samar-samar

Merasakan takut tuk melangkah, meragukan dirimu sendiri

Jalan terasa begitu gelap, mungkin saja aspal ini tak sampai perkiraan

Walaupun kau skeptis bisikkan doamu, setiap kesulitan pasti ada kemudahan

Meskipun menangis nyalakan kata positif. Ah, yang sungguh-sungguh kan sukses

Kau melihat cahaya menghilang, berpikir tuk berhenti putar balik saja

Gemetaran rasa ingin menyerah lalu membenci dirimu sendiri

Jalan menjadi tidak tergambar, mungkin saja aspal ini telah berakhir

Kala ingin menyerah lagukan doamu, setiap kesulitan pasti ada kemudahan

Saat ingin sudahi semua usahamu. Ah, terima kasih tlah berjuang

Walaupun kau skeptis bisikkan doamu, setiap kesulitan pasti ada kemudahan

Meskipun menangis nyalakan kata positif. Ah, yang sungguh-sungguh kan sukses

Kala ingin menyerah lagukan doamu, setiap kesulitan pasti ada kemudahan

Saat ingin sudahi semua usahamu. Ah, terima kasih tlah berjuang

Wahai diriku di mana pun berada. Wahai jiwaku di usia berapa pun

Wahai ragaku apa pun keadaanmu. Teruntukmu, diriku yang tercinta


Sumber: Quora Ariestanabirah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Kerangka Karangan (Outline) Novel

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Mai Kuraki in the poetry