[#‎TantanganMenulisNovel100Hari‬] PANDEMONIUM - CHAPTER XXIV [CHAPTER TERAKHIR]




Emi sekali lagi berlagak seperti bos melebihi Tuan Akihiro. Dia memandang Miwa setelah merantai Yuka di altar. Hiroyuki diikat di sebuah pohon dan dijaga oleh para penjaga. Hiroyuki terus berteriak agar Yuka mengabaikan dirinya demi menghancurkan Perserikatan Anti Sihir tapi, Yuka pura-pura tak mendengar permintaan Hiroyuki. Ia mencintai Hiroyuki dan tak mau Hiroyuki hancur karenanya.
            “Yuka! Aku tak akan bahagia jika kau tak ada! Yuka!”
            Aku juga begitu, balas Yuka dalam hati.
            “Yuka! Yuka! Aku akan membencimu jika kau menyerah! Yuka!”
            Membenciku? Tak apa, asal kau bisa melanjutkan hidup meski membenciku.
            “Yuka! Aku membencimu!”
            Ah, begitu? Padahal aku selalu mencintaimu.
            Miwa kembali lagi memegang pisau dan Yuka sekali lagi merasakan dinginnya batu altar. Pelan-pelan ia menutup mata diiringi suara Hiroyuki yang memekik. Emi dan Tuan Akihiro menghela napas, ini ketiga kalinya dan mereka harus berhasil.
            “Miwa! Apa yang kau tunggu? Cepat lakukan!” bentak Emi tak sabar. Miwa meneguk ludah. Batinnya kembali berperang. Rasa kemanusiaan dalam diri menyuruhnya berhenti menggerakkan tangan menuju jantung Yuka tapi aliran darah yang sudah disesaki perintah absolut Emi tak mendengarkan hati terdalamnya.
            Duaaak! Tap! Tap!
            Suara pukulan dan langkah-langkah kaki terdengar, dalam sekejap mata Emi berada di tangan Frosh, Tuan Akihiro di tangan Hiroaki, dan Miwa di genggaman Miki sementara Mai dan Isamu membereskan orang-orang yang menawan Hiroyuki.
            “Tch!” Froshe muncul dengan wajah ngos-ngosan setelah berlari menaiki tangga secepat yang ia bisa. Emi dan Tuan Akihiro kaget melihat kedatangan tim Hiroyuki. “Bagaimana kalian bisa lolos dari penjara?” selidik Emi.
            Well, itu karena salah satu musuh dalam selimut kalian,” balas Froshe, melirik ke arah tangga di depan gerbang kuil. Sesosok pemuda lantas bersinar di bawah lampu gerbang, Tsuneo. Dia melambaikan senyum sinis.
            “Tsuneo-kun! Kau… kau…” Emi begitu geram.
            Yo!”
            “Kau… kau yang mengacau serumku?” tebak Emi. Ia teringat kalau Tsuneo adalah anggota yang direkrut karena kecerdasan intelektual, lebih cerdas dibanding Takaya yang berprofesi sebagai ilmuwan selain menjadi peramal. Beberapa alat dikembangkan oleh Takaya dan Tsuneo, termasuk pin naga.
            “Cerdas sekali. Sayangnya aku tak sempat menyuntikkan serum kreasiku pada Miwa. Baru pada Hiroyuki sensei dan Nyonya Kuraki. Ah, aku sudah menyebarkan serum itu ke semua anggota perserikatan, baru saja selesai. Ternyata mereka semua adalah orang-orang kompeten untuk mencapai tujuan perserikatan, mereka ada pada daftar orang-orang hilang… aku jadi merasa bersalah telah bergabung tanpa tahu kenyataan,” papar Tsuneo tenang.
            Emi meludah kesal. Froshe memborgol tangannya.
●●●
Hiroaki mendekat ke Tuan Akihiro dan menamparnya, “Apa yang Ayah lakukan pada kakak dan menantu Ayah! Beraninya Ayah melakukan hal kejam!”
            Tuan Akihiro mengeluarkan pistol dari jas dan menodongkan ke Hiroaki. “Aki, kau selalu salah paham pada Ayah. Terlalu berekspetasi tinggi.”
            “Tch. Menodongkan pistol, kau mau membunuhku juga setelah membunuh ibu?”
            Hiroaki teringat, beberapa tahun lalu ibunya menjadi tumbal ritual agar kekuatan ayahnya lebih besar dan bisa menguasai bisnis di Jepang. Ritual itu mempersembahkan jantung ibunya yang berasal dari keturunan jauh keluarga Kuraki. Ayahnya mengira ibunya pemilik kekuatan suci karena masih dalam garis keluarga Kuraki tapi ternyata… tak ada kekuatan apa pun. Ayahnya sempat down tapi kemudian bangkit dan besar dengan usaha sendiri.
            Hiroaki berdecak, “Apa sebenarnya tujuan perserikatan ini? Mengapa mengincar kekuatan suci?”
            Tuan Akihiro masih dalam mode bersiap menembak jika sesuatu yang mengancam nyawa terjadi, “Kekuatan suci itu… bisa dipakai untuk… menguasai dunia, menghidupkan orang mati, dan mengendalikan semesta.” Tuan Akihiro menjawab.
            “Dan Ayah percaya semua omong kosong itu?” cibir Hiroaki.
            “Tentu saja. Aku sudah lama mendengar desus kekuatan suci dan selama aku hidup aku mencarinya. Untuk membuat orang-orang bertekuk lutut, menghidupkan kembali orang tuaku yang jadi korban politik, lalu menghidupkan istri yang kucintai dan menunjukkan kehebatan yang tak dimiliki oleh siapa pun di dunia ini… meski aku harus merampas kehidupan seorang perempuan kecil.”
            Dorrrr!
            “Heeeaaaaaa!” dari samping, kaki Miki tiba-tiba menendang lengan Tuan Akihiro hingga pistol di tangannya terhempas, peluru pistol yang telah keluar berhasil dihindari oleh Hiroaki. Hiroaki dan Miki saling melempar jempol, “Kerja bagus, Miki!” puji Hiroaki. Ia melesat bak anak panah dan…
            Duaaak!
            Melayangkan pukulan tepat di wajah ayahnya. Tuan Akihiro terduduk dan menyentuh sudut bibir yang berdarah.
            Seeet!
            Hiroaki memasang borgol pada kedua tangan ayahnya. “Aku kecewa padamu,” desisnya.
●●●
Hiroyuki yang terbebas membantu Mai dan Isamu melawan para penjaga yang sepertinya masih dalam pengaruh serum. Saat Hiroyuki dan Mai bertarung sengit, Isamu diam-diam menjauh dan memicingkan mata sambil menghitung sudut untuk bisa melempar panah-panah kecil yang diolesi serum kreasi Tsuneo pada orang-orang berjubah hitam itu. Tanpa diduga, Yuka menepuk bahu Isamu. “Akan kubantu,” bisiknya.
            Isamu membagi panah pada Yuka.
            “Lebih baik kalau kita menghilang, jadi kita bisa mendekat mereka tanpa diketahui,” lontar Yuka. Isamu geming dan sebelum menjawab, Yuka merapal mantra penghilang, “Jadikan diri kami tak terlihat! Jadikan diri kami menghilang!”
            Isamu dan Yuka saling memandang. “Kita benar-benar tak terlihat?” tanya Isamu skeptis.
            Yuka meminta Isamu mencubit dan Yuka akan membalas. Saat dua udara itu tak merasakan apa pun atas cubitan itu, mereka bergerak diam-diam dan menusukkan panah-panah ke orang-orang berjubah hitam. Seketika mereka jatuh pingsan, Hiroyuki memandang Isamu dan Yuka, memberi mereka jempol. “Terima kasih.”
            “Hiroyuki sensei? Ah, beliau memang bisa melihat hal-hal seperti kita sekarang…” tandas Isamu.

●●●
Malam itu berlalu dengan hiruk pikuk di kuil terpencil ujung kota Tokyo. Suara sirine mobil polisi bersahutan, satu per satu anggota Perserikatan Anti Sihir digiring ke mobil polisi dan langsung dibawa ke kepolisian Tokyo untuk investigasi. Perusahaan Akihiro Company diamankan, semua pekerja diperiksa terutama pekerja di lantai 33. Froshe dan Mai mendadak sibuk apalagi mereka harus menerima sorotan media dan memberi penjelasan pada masyarakat. Tsuneo yang merupakan salah satu anggota juga ikut diperiksa sebagai saksi, Miwa pun begitu.
            Malam akhir musim panas itu begitu cepat berlalu dan menyisakan kelegaan meski bagi Yuka, kehilangan Ibu di tengah pertarungan adalah hal yang begitu mengeruk perasaan, menyedihkan yang teramat sangat.
●●●
Dengan wajah bersalah Hiroyuki mengumpulkan pecahan Nyonya Kuraki di sekitar tempat terjadinya peledakan. Yuka turut menemani meski Hiroyuki melarang Yuka. Hiroyuki ingin melakukan sesuatu pada ibu mertuanya itu karena ia tak pernah melakukan apa pun bahkan untuk memberi salam pun tak sempat.
            Pecahan itu kemudian dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam sebuah wadah. Hiroyuki memajang wadah itu di apartemen, menghidupkan dupa dan berdoa agar kedua mertuanya beristirahat dalam damai. “Ayah, Ibu. Maaf karena tak sempat memberi salam atau berbuat baik pada kalian. Aku hanya bisa bilang kalau aku mencintai anak kalian, Yuka dan akan bersama dengannya selama hidup dan matiku. Kalian tak perlu khawatir, aku akan menjaga harta berharga kalian. Selamanya.”
            Yuka tersenyum hangat, memandangi Hiroyuki lalu ia tersadar. “Celaka! Aku dan Isamu masih dalam mode menghilang!”
            Hiroyuki menatap Yuka, “Ah iya! Aku sampai lupa memberitahumu kalau kau… udara,”
            Yuka segera ke luar apartemen, disusul oleh Hiroyuki.
●●●
“Yuka-chan!! Tolong kembalikan aku seperti semula!!” teriak Isamu histeris, dia masih ada di kuil yang porak poranda karena angin yang Yuka hempaskan sewaktu melakukan perlawanan ke Perserikatan Anti Sihir. Yuka menyengir, “Maaf.”
            “Kau tak seharusnya meninggalkanku!”
            “Iya, maaf.”
            Yuka merapal mantra cepat, “Jadikan diri kami terlihat! Jadikan diri kami nyata!”
            Berkali-kali,
            Lalu Yuka tertawa, “Sepertinya… dalam mode ini kekuatanku tak bisa seenaknya muncul.” Dia berlutut di depan Isamu dengan perasaan menyesal. Isamu membelalakkan mata, “Bagaimana bisa?? Bagaimana bisa kita menjadi seperti ini?”
            “Maaf! Maafkan aku!” Yuka masih berlutut, “aku mungkin harus istirahat dulu karena malam ini sudah mengeluarkan banyak kekuatan. Maaf, secepatnya aku akan membuatmu kelihatan lagi.”
            “Tapi, besok kita sudah sekolah!”
            “Maaf! Besok pagi aku akan mencoba lagi! Doakan saja saat itu kita sudah kembali seperti semula!”
            Isamu berdecak, kemudian menghela napas. “Baiklah, aku akan menikmati jadi hantu dulu malam ini. Ah! Aku bisa ke tempat Mi-…”
            Kata-kata Isamu terhenti karena Yuka dan Hiroyuki menelisiknya. Isamu lantas bergerak menuruni tangga kuil. “Sampai jumpa besok!” serunya.
            Hiroyuki dan Yuka saling melirik, tanpa mengumandangkan pikiran, mereka melangkahkan kaki membuntuti Isamu. Tanpa bisa ditebak, Isamu ternyata menuju panti asuhan Miki!. “Mereka berdua pacaran?” tanya Yuka. Hiroyuki menggeleng tak tahu.
●●●
“Benar-benar! Dia selalu saja membiarkan jendelanya terbuka, bagaimana kalau pencuri masuk? Dasar bodoh!” Isamu mengumpat sambil memanjat jendela, masuk ke kamar Miki. Miki sudah jatuh tertidur tanpa mengganti pakaian. Isamu duduk di samping Miki dan memandang lekat wajah Miki yang tampak lebih cantik saat tidur.
            Karena aku tak terlihat, aku… bisa melakukan itu, kan?, Isamu melontar tanya pada diri sendiri meski batin berperang apakah akan lanjut atau tidak. Isamu memilih untuk menggunakan kesempatan emas, dia mendekat ke telinga Miki, berbisik lembut. “Miki, aku menyukaimu. Sejak awal…”
            Hiroyuki dan Yuka yang bersembunyi di balik jendela hanya tertegun, detak jantung mereka berdegup menyaksikan tingkah Isamu ke Miki, seperti sedang menonton drama percintaan.
            “Aku menyukaimu,” sekali lagi Isamu melakukan pengakuan lalu mengecup bibir Miki. Awalnya tak ada rasa apa pun karena ia adalah udara tapi beberapa detik kemudian ia merasakan kelembutan bibir itu.
            “Hmmmph!” Miki tersentak dan menampar Isamu secara otomatis.
            “Apa yang kau lakukan?” bentak Miki, dia lalu menatap bingung Isamu. “Isamu, mengapa kau di sini?”
            Isamu tampak kaget. “Kau bisa melihatku?”
            “Ya. Yang paling penting, mengapa kau di sini? Kau menyelinap? Tadi, tadi kau menciumku! Itu pertama! Aku… aku…” Miki bersiap dengan pemukul baseball, Isamu berlutut dan meminta maaf. “Maaf! Aku menyukaimu jadi aku menciummu…”
            “Kau kira karena itu kau bisa melakukannya?” hardik Miki keki.
            Isamu semakin berlutut.
            “Pergi!” Miki mengusir Isamu, menunjuk ke jendela yang terbuka.
            “Maaf.” Isamu tersenyum, keluar dari jendela kamar Miki. Miki menutup jendela dengan wajah memerah, jantungnya berdegup begitu kencang.
●●●
Yuka dan Hiroyuki memandang punggung Isamu yang menjauh. “Sepertinya dia ditolak oleh Miki,” tebak Hiroyuki. Yuka masih tak punya clue kalau Isamu menyukai Miki, dia menebak-nebak… apa benar Isamu menyukai Miki? Sejak kapan? Kenapa aku tak menyadarinya?
            Sesaat kemudian mereka teringat dengan peristiwa yang membuat Isamu kembali ke bentuk nyata. Hiroyuki dan Yuka saling melirik lalu mengalihkan pandangan. “Aku akan istirahat, besok… mungkin kekuatanku akan kembali dan aku bisa merapal mantra,” Yuka berusaha menenangkan diri. Dia begitu malu saat tahu mantra itu bisa patah karena ciuman. Dia juga sedang dalam kondisi tak berani meminta Hiroyuki mematahkan mantranya, malu.
            Hiroyuki mengerti kalau Yuka tak mau mematahkan mantra dengan cara itu. “Ayo pulang. Besok sekolah dimulai lagi.”
            “Langitnya bagus.” Yuka mendongak, memandangi langit yang tak ditutupi oleh awan setitik pun. Hiroyuki turut melihat ke atas, “Langitnya bersih…”
            “Hiroyuki-han, terima kasih telah terlahir ke dunia dan bertemu denganku.”
            “Ya. Aku juga berterima kasih karena kau hadir, bertemu denganku, dan bersedia mencintaiku.”
            Mereka berdua saling tersenyum dan berjalan. Saat menyusuri jalan, Yuka mencoba meraih tangan Hiroyuki untuk bergandengan tapi karena ia udara, ia tak bisa melakukannya. Ah, kenapa aku belum bisa menjadi nyata?
            “Yuka?” Hiroyuki menoleh karena Yuka tertinggal di belakang.
            Yuka menutup mata, memberi sinyal pada Hiroyuki agar mematahkan mantra penghilangnya. Hiroyuki mendekat, dengan wajah memerah dia mengerti sinyal itu. Ia mendekatkan wajah, menempelkan bibir ke bibir Yuka si udara. Lalu, terasa manis.
            “Hiroyuki-han… sesak…” Yuka mengerjap-ngerjapkan mata karena Hiroyuki tak memberinya ruang bernapas, “Hmmph,” Hiroyuki tak peduli dan terus memberi ciuman panas pada Yuka.
            Setelah beberapa saat, Hiroyuki baru melepaskan bibirnya. “Maaf, aku jadi keterusan.”
            “Kita platonis, kan?” ungkit Yuka. Hiroyuki tertawa, “Tadi pengecualian karena kita harus mematahkan mantra.”
            Yuka ikut tertawa, menggandeng tangan Hiroyuki.   “Besok, kita kembali menjadi guru dan murid,” bisiknya.
            “Jadi, apa kau mau malam ini kita melupakan status guru dan murid?”
            “Eh?”
            “Ah, tapi aku sangat mengantuk. Pagi tinggal beberapa jam lagi.”
            Dalam hati Yuka menyesal mengapa besok harus sekolah.



“Untukmu, Cintaku.” Dengarkan ini dan jangan tertawa
“Aku mencintaimu,” begitu klise.
Tapi aku tak bisa memikirkan kata selain itu untuk mengatakannya
Lihat! Kau menertawaiku lagi.

Apa kau bahagia memilihku di hidupmu?
Aku tak tahu tapi,

Hanya berada di sampingmu
Di hari-hari kita menghabiskan tawa dan tangis adalah arti hidupku
Dan ku persembahkan lagu cinta ini untukmu

“Hei, apa yang kita bicarakan selanjutnya?”
Di hari pertama kita berjumpa kita begitu formal satu sama lain
Sejak itu banyak hal terjadi, bahkan kita bertengkar dan menghabiskan banyak waktu bersama untuk saling mengerti

Kita bertemu di bawah langit luas dan jatuh cinta, selamanya.

Hanya berada di sampingmu
Di hari-hari kita menghabiskan tawa dan tangis adalah arti hidupku
Dan ku persembahkan lagu cinta ini untukmu

Maaf untuk segala masalah selama ini
Waktu yang kita lalui bersama telah terbungkus penuh, kan?
Kita melewati hari demi hari dan cinta kita pun tumbuh
Aku akan mengirimkan lagu cinta ini untukmu
Aku berjanji pada Tuhan, “Aku benar-benar mencintaimu.”
Aku akan tetap memegang tanganmu

Selama suaraku mengalir,
Aku akan tetap bernyanyi di sisimu
Ketika aku tua dan kehilangan suara, aku akan tetap memegang tanganmu

Aku tak bisa mengekspresikan betapa banyak rasa terima kasihku padamu
Mari berbagi senyum penuh air mata serta kesedihan dan kebahagiaan selama sisa hidup kita
Malam demi malam
Aku akan bernyanyi tentang cintaku padamu

(Greeeen – Ai Uta).

 

Postingan populer dari blog ini

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Contoh Kerangka Karangan (Outline) Novel

Mai Kuraki in the poetry