[#TantanganMenulisNovel100Hari] PANDEMONIUM - CHAPTER XXIII
CHAPTER XXIII
“Kak
Yuki!” Hiroaki berteriak di luar jeruji. Mendengar suara familier, Hiroyuki
bergegas mendekat dan mendapati Hiroaki, Froshe, Mai, dan Miwa di sana. “Aku
akan mengeluarkan Kakak!” Hiroaki meraih gembok pintu penjara, Froshe menggeser
Hiroaki. Dia mengeluarkan notes kesayangan, di balik sampul kulit notes
terdapat besi kecil. “Membuka gembok adalah spesialisku sebagai detektif
kepolisian,” terang pria berambut pirang tersebut, sedikit sombong.
Krek.
Pintu penjara yang
mengurung Hiroyuki terbuka.
Froshe melirik pin naga yang
tersemat di dada kiri Hiroyuki. “Lepas pakaianmu. Pin itu berbahaya,” ingat Froshe.
Hiroyuki melepas kaos, melempar ke lantai penjara.
Tanpa membuang detik lagi, mereka
bergegas menaiki tangga untuk segera keluar dari penjara bawah tanah yang
pengap.
Baru saja mereka sampai pada pintu
bertuliskan KEEP OUT, wajah Emi memantul di bola mata mereka. Emi, melipat
tangan di dada dan tersenyum sinis. “Hiroyuki-sama, ternyata Anda banyak tamu. Oh, ada Hiroaki-sama juga…”
Beberapa penjaga berpakaian hitam
dengan tubuh kekar berdiri di belakang Emi, siap untuk melakukan segala
perintah Emi. Emi menjentikkan jari, “Tangkap mereka semua. Bawa Miwa dan
Hiroyuki-sama ke tempat ritual
sementara yang lain masukkan ke penjara terpisah.”
Froshe, Mai, serta Hiroyuki yang
bisa berkelahi adu fisik dengan para pria kekar yang berkali-kali lipat
besarnya dibanding mereka. Suara pukulan, cipratan darah, dan kegaduhan mulai
mengelilingi atmosfer sementara Hiroaki dan Miwa mencoba melarikan diri dari
situasi genting itu.
Emi berdesis, mengambil remote dari
balik saku pakaian. Ketika remote ditekan, Hiroyuki dan Miwa menghentikan
gerakan dan menuju ke arahnya. “Apa kalian pikir karena Hiroyuki-sama dan Miwa-san tak memakai pin maka aku tak bisa menggunakan mereka?” tanya
Emi. “Kalian harus banyak belajar lagi, anjing Tokyo.” Emi mencibir dengan
memainkan mata, meminta para pengawal agar tak segan-segan menghancurkan
Froshe, Mai, dan Hiroaki.
Froshe, Mai, dan Hiroaki tak
berkutik. Satu per satu mereka jatuh pingsan.
●●●
Yuka
mondar-mandir di sekitar ruang khusus tempat shikigami disekap. Dia juga sudah memeriksa tempat ibunya berada,
tak satu pun dari dua tempat itu bisa dimasuki Yuka. Kekuatan Yuka pun tak bisa
digunakan sehingga yang bisa ia lakukan hanya lalu-lalang menunggu siapa pun
yang membuatnya bisa masuk ke tempat shikigami
atau ibunya dan berharap tatkala saat itu tiba, kekuatannya bisa dipakai.
Setelah menunggu entah berapa lama,
tampak Emi si sekretaris cantik melangkah anggun dan berhenti di depan ruang
khusus, sendirian. Matanya dihadapkan ke sensor di samping pintu ruang khusus.
Tak lama, pintu ruang khusus yang terbuat dari besi itu terbuka. Yuka melesat
masuk sebelum pintu seperti lift itu tertutup. Shikigami menoleh ke pintu masuk, Yuka meletakkan jari telunjuk ke
bibir, meminta shikigami untuk tak
bereaksi apa pun.
“Yuka-chan, kita akan melakukan ritual penghisapan jiwamu malam ini.” Emi
mengeluarkan sebuah jarum suntik, “Sebelum itu… kita tanam dulu serum di
tubuhmu agar kau mematuhiku.”
Tanpa banyak berontak, jarum suntik
itu menembus kulit lengan shikigami. Yuka
tak bisa melakukan hal apa pun, ia hanya berharap itu bukan obat pelumpuh
seperti beberapa hari ini. “Tenang, itu hanya obat yang akan membuatmu
mematuhiku,” desis Emi.
Yuka ingin sekali mencakar Emi atau
menyuntiknya balik dengan obat pelumpuh. Diam-diam otak Yuka merancang skenario
balas dendam. Ia benci sekali dengan Emi apalagi kalau teringat penyiksaan yang
diberikan Emi pada ibunya tempo hari. Dia berjanji akan membuat perhitungan
pada Emi.
Shikigami
mendadak diam dan Emi melepas rantai-rantai yang membelit shikigami. “Yuka, berdiri. Kita menuju
tempat ritual,” Emi memerintah. Ajaibnya, shikigami
menurut padahal ia sudah terbebas dari rantai. Pandangan matanya redup,
seperti orang yang terkena hipnotis. Yuka melambai-lambaikan tangan pada shikigami tapi gerakan mata shikigami seakan tak melihat Yuka.
Yuka tertegun hingga pintu terbuka
lagi, Emi dan shikigami keluar, Yuka
ikut melesat.
“Tuan, Yuka-chan sudah di sini sementara Miwa-san sudah ada di tempat ritual.” Emi melapor pada Tuan Akihiro.
Tuan Akihiro hanya mengangguk sembari masuk ke dalam sebuah mobil yang
menunggu. Emi mendorong shikigami untuk
masuk ke mobil itu juga. Yuka, masuk jua tanpa izin. Mobil itu lantas melaju
entah ke mana.
Hari mulai malam di balik jendela
mobil. Saat orang-orang di dalam mobil keluar, sebuah kuil besar menyambut
mereka. Yuka baru pertama kali ke lokasi ini, ornamen dan suasana kuil
mengingatkannya pada kampung halaman tercinta, Kyoto. Yuka menghirup udara
kuil, hangat dan penuh nostalgia. Tapi, ia tak bisa berlama-lama bernostalgia
karena harus tetap awas pada apa yang sedang terjadi pada shikigami.
Emi, Tuan Akihiro, dan shikigami menaiki tangga demi tangga
menuju bangunan utama kuil. Sebuah altar sesembahan diletakkan tepat setelah gerbang
kuil. Di dekat altar berdiri Miwa dengan pakaian khas miko. Miwa memandang
lurus shikigami. “Selamat datang,
sang pemilik kekuatan suci,” sambutnya.
Yuka mendekat ke altar, shikigami berbaring di atas altar. Yuka
mencium gelagat mencurigakan dari aksi yang sedang terjadi, dia mulai takut dan
berteriak, teringat isi gulungan dan secepat itu pula mengerti apa yang akan
terjadi. Penghisapan jiwa.
“Kau harus pergi! Harus pergi!
Jangan biarkan mereka menghisap jiwa!” meski tak mengerti sepenuhnya, Yuka
berteriak histeris namun shikigami bak
boneka yang tak merespons apa pun perkataan Yuka.
“Aku… tak mau… pergi…”
“Mulailah,” titah Tuan Akihiro. Miwa
menunduk, memerhatikan sekujur tubuh shikigami.
“Ritual akan dimulai sesaat lagi, Tuan.” Miwa mengambil kertas-kertas
mantra, menulis beberapa simbol sembari melirik buku catatan peninggalan
leluhur. Dia tak pernah melakukan ritual sebelumnya, hanya tahu keluarganya
keturunan peramal, tak lebih dari itu. Buku petunjuk hal-hal aneh semacam
kekuatan suci dan ritual mengambil kekuatan itu pun baru ia ketahui. Agak tak
yakin ia melakukan hal ini tapi ia tak bisa berhenti. Jika berhenti, nyawanya
akan terancam.
Miwa menempel kertas-kertas simbol
itu ke beberapa titik tubuh shikigami sambil
berkomat-kamit, “Dalam jiwa penjaga kuil terjaga kristal suci yang menggetarkan
dunia. Hisap jiwa sang penjaga kuil dan kristal akan berpendar.”
“Tidak!” Yuka berdiri, melepas
kertas-kertas simbol itu meski tak ada hasil apa pun dari tindakannya. “Shikigami! Bergeraklah! Bergerak!”
Miwa lantas memegang sebuah pisau,
dengan mata takut dia melihat ke arah jantung shikigami berada. “Jangan!” Yuka semakin histeris. Miwa tak pernah
membayangkan kalau ritual yang akan ia lakukan harus mengorbankan nyawa,
kristal tersebut ada dalam jantung pemilik kekuatan suci. Meski batinnya
berontak, serum pengendali yang menjalar di seluruh aliran darah membuatnya tak
berkutik. Emi adalah absolut baginya dan perintah untuk melakukan ritual tak
bisa dibantah sama sekali. Miwa memejamkan mata, “Maaf…”
“TIDAK!” Yuka menjerit, memeluk shikigami.
Emi dan Tuan Akihiro ikut memejamkan
mata.
Ssssss…
Cipratan darah mengenai
lengan baju Miwa yang panjang, warna putih pakaiannya mendadak menjadi merah.
“Tidak…” isak Yuka, matanya terpejam.
“Yu-ka...”
Yuka tersentak, setelah beberapa
detik ia menyadari bahwa dirinya tak merasa sakit sedikitpun padahal seharusnya
jika shikigami tertusuk, ia akan
merasa sakit dan barusan… suara yang ia rindukan terdengar, begitu lirih nan
penuh perasaan. Air mata Yuka sontak keluar, tubuh itu tengah memeluk dari
belakang, menindihnya dan shikigami. Melindungi.
“Hi-Hi-…”
“Hiroyuki-sama!” Emi berteriak kaget, Miwa membuka mata perlahan dan pisau di
tangannya terjatuh. Yang ia tusuk barusan adalah Hiroyuki. Di detik sebelum
penusukan, Hiroyuki datang dan melindungi Yuka walau harus mengorbankan diri
sendiri. Tuan Akihiro memucat, “Dasar anak bodoh! Miwa! Cepat lakukan ritual
sebelum ada gangguan lain!”
“Ta-tapi…”
“CEPAT!” bentak Tuan Akihiro.
Yuka memandang Hiroyuki yang
terjatuh dari altar setelah tusukan terjadi. Gadis mungil itu menghampiri dan
menangis. “Hiroyuki-han…”
“Yuka… syukurlah kau baik-baik saja.”
“Hiroyuki-han…”
“Aku merindukanmu…”
Yuka menggeleng-geleng, benar-benar
berharap ia bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Hiroyuki.
Sssssss….
Kini, pisau menusuk
tepat di jantung shikigami. Miwa
menitikkan air mata dan berteriak berkali-kali, “Maaf! Maaf!” sementara Tuan Akihiro
dan Emi saling melirik puas, “Misi selesai.”
Taass!
Tuan Akihiro dan Emi menyaksikan shikigami meledak seperti balon. Mereka
berdua saling melirik bingung. “Ke mana? Ke mana kristalnya?”
Tepat di saat yang sama, Yuka
kembali bisa terlihat.
“Dia… benar-benar… penyihir…” desis
Emi saat pendengarannya bisa mendengar suara Yuka. Bergegas ia berbalik badan, mendapati
Yuka tengah duduk di dekat Hiroyuki, berkomat-kamit sembari tangan-tangan
mungil itu membentuk simbol. Yuka tahu kalau ia sudah bisa terlihat karena shikigami telah hancur. Ia tak akan
membuang detik untuk menggunakan kekuatan meski itu beresiko besar, Emi dan
Tuan Akihiro bisa melihatnya.
“Segala penyakit ada penyembuhnya,
segala penyakit ada penyembuhnya. Tutup luka ini dan biarkan rasa sakit pergi!”
Yuka merapal mantra dan mengarahkan tangan ke punggung Hiroyuki yang berdarah.
Dalam sekejap, darah itu menghilang, luka tertutup dan wajah kesakitan Hiroyuki
sirna.
Tuan Akihiro dan Emi terdiam, baru
kali ini mereka menyaksikan kekuatan Yuka sesungguhnya.
“Hiroyuki-han!” Yuka tersenyum hangat, Hiroyuki duduk dan menghapus air mata
di kedua pipi Yuka. “Terima kasih, Yuka.”
“Hiroyuki-han!”
Hiroyuki meraih Yuka, memendamnya
dalam pelukan. Sekejap saja rindu yang menaungi mereka rontok. Kehangatan mulai
merasuki dua orang yang saling merindukan. Hiroyuki masa bodoh dengan hubungan
platonis yang seharusnya ia pegang. Ia begitu merindukan Yuka dan tak bisa
menahan diri untuk memeluk gadis kecil itu. Yuka juga seperti itu, tak peduli
pada pertengkaran terakhir mereka atau perjanjian platonis yang dicanangkan
Hiroyuki. Ia hanya ingin Hiroyuki. “Aku merindukanmu,” bisik Yuka.
“Ya, aku juga.”
“Cukup reuninya!” Tuan Akihiro
menarik Yuka dari pelukan Hiroyuki dan menodongkan pistol ke kepala Yuka.
Hiroyuki tersentak.
“Kekuatanmu ternyata bisa
menyembuhkan juga, kau semakin menggiurkan dan kau terbebas dari kematian,
hebat sekali.” Tuan Akihiro berujar pada Yuka.
Emi mendekat ke arah mereka, membawa
seseorang di pelukan. Nyonya Kuraki, ibu Yuka- sebagai tawanan. “Yuka-chan, ayo kita lanjutkan lagi ritualnya
atau… kali ini ibumu yang akan menjadi korban.” Emi mengancam Yuka dengan
tatapan mengintimidasi.
Hiroyuki dan Yuka saling melirik.
“Miwa-san! Cepat lanjutkan ritual!” Emi menghardik Miwa yang hanya
berdiri kaku di dekat altar. Dengan kikuk dia mengambil pisau lagi dan
memandang Yuka yang dibaringkan di altar oleh Tuan Akihiro. Hiroyuki
memerhatikan keadaan seraya memutar cepat otaknya. Kini, ia harus menyelamatkan
Yuka dan Nyonya Kuraki sekaligus.
“Penjaga! Jaga Hiroyuki-sama agar tak menganggu ritual lagi.”
Emi berteriak, beberapa laki-laki berjubah hitam mengelilingi Hiroyuki.
Hiroyuki yang tak mau dikekang melawan satu per satu dari mereka. Emi menarik
bibirnya, tepat seperti yang ia harapkan. Saat Hiroyuki sibuk dengan penjaga,
maka Miwa harus melakukan ritual lagi.
“Yuka!” Nyonya Kuraki berteriak
memanggil Yuka. Meski tak mengerti, batinnya merasa tak enak. Ia begitu cemas
melihat Yuka berbaring dengan tubuh ditempeli kertas-kertas mantra. Insting
keibuannya mengatakan hal itu berbahaya. “Yuka! Lawan mereka! Lawan mereka!”
Nyonya Kuraki terus berteriak. Emi sedikit bingung, mengapa Hiroyuki dan Nyonya
Kuraki bisa bebas dari ‘kepatuhan’? Kenapa mereka bisa bertindak di luar
kontrol?
“Yuka! Jangan terjebak dengan
ancaman! Yuka!” suara Hiroyuki terdengar di sela-sela suara tendangan dan
pukulan. Yuka yang tangan dan kakinya dirantai oleh Tuan Akihiro menyesap semua
perkataan ibu dan Hiroyuki. Ia terus berpikir, berpikir, dan berpikir. Sampai
akhirnya, ia menarik kesimpulan. Ia punya kekuatan untuk menghancurkan dunia
–begitu kata Perserikatan Anti Sihir- bukankah itu artinya dia bisa
menghancurkan Perserikatan Anti Sihir yang hanya sepersekian dari dunia?
Yuka menyunggingkan senyum dalam.
Meski tangannya tak bisa membentuk
simbol-simbol, ia yakin kekuatannya bisa digunakan tanpa simbol. Yuka
berkonsentrasi, Miwa masih melihatnya takut-takut meski Tuan Akihiro dan Emi
sudah memerintah untuk mengulang ritual.
“Wahai angin yang berhembus lembut,
wahai angin yang mengelilingi semesta ini. Tiupkan sedikit napas pada
rantai-rantai yang membelit!” Yuka begitu yakin kekuatannya akan muncul dan
keyakinan itu benar.
Rantai-rantai itu terlepas.
Wajah Tuan Akihiro, Miwa, dan Emi
memucat kompak.
“Wahai angin yang berhembus lembut,
wahai angin yang mengelilingi semesta ini. Tiupkan sedikit napas pada apa yang
kutunjuk!” Yuka melayang di udara, jari telunjuknya menuju Emi, Tuan Akihiro,
serta orang-orang berjubah hitam. Seketika angin mengelilingi orang-orang yang
ditunjuk Yuka, terlilit seperti baju-baju di mesin cuci lalu terhempas ke
tanah. “Mau coba lagi?” ancam Yuka.
Emi menatap dingin Yuka.
Yuka bergegas menghampiri ibunya
yang sudah terbebas dari jeratan Emi. “Ibu! Apa Ibu baik-baik saja? Ibu!”
Nyonya Kuraki tersenyum, “Yuka… ada
yang harus ibu katakan.”
“Apa?”
“Ayahmu… tewas ketika mereka
menyerang Kyoto…”
Yuka terhenyak, menelan ludah kemudian
ibunya memeluk. “Ibu harap kau memaafkan kami yang tiba-tiba pergi, membakar
rumah kita dan menyuruhmu menikah. Maaf.”
Tak kuasa, Yuka membiarkan air mata
turun dari matanya.
“Tak apa. Tak perlu maaf karena aku
mengerti semua alasannya lagipula aku bahagia karena bertemu Hiroyuki-han. Dia suami yang sangat kucintai.”
Nyonya Kuraki mengusap rambut Yuka
dengan hangat, “Berbahagialah…”
Diam-diam Emi mengeluarkan remote dari
balik saku rok, “Kita lihat… seberapa kuat kau menghadapi kehilangan…”
Taaaar!
“Yuka!”
Hiroyuki berteriak dan bersiap
menghentikan gerakan tangan Emi yang memegang remote di tangannya tapi terlambat…
Nyonya Kuraki sudah meledak di pelukan Yuka. Yuka tertegun, aura kemarahan
menghampiri.
Gadis itu menoleh pada Emi, “KAU!” dia
begitu murka, hatinya tersayat. Ia baru saja mendengar kabar kalau ayahnya
meninggal dan sekarang ibu yang ia rindukan tiba-tiba meledak, hancur
berkeping-keping karena sebuah remote kecil. “Aku juga bisa meledakkan
Hiroyuki-sama, dia sudah memakai
serumku… kau mau kehilangan lagi?” ancam Emi.
Tangan Yuka bergetar hebat, ia
memandang Hiroyuki lirih. Jawaban yang dinanti oleh Emi sudah pasti bisa
ditebak. Tentu saja Yuka tak mau Hiroyuki menghilang. Dia sudah cukup menderita
karena kehilangan orang tua, bagaimana bisa dia kehilangan seseorang yang
begitu berharga?
“Tolong, bebaskan Hiroyuki… tolong… aku
akan lakukan apa pun… tapi… tapi jangan mengorbankan Hiroyuki…” Yuka bersimpuh,
menangis di depan Emi dengan suara begitu memilukan. Hiroyuki tak terima, dia
berusaha merampas remote di tangan Emi namun para penjaga yang sudah pulih
menahan Hiroyuki.
Emi menarik bibir ke atas, “Mari,
kita lanjutkan ritual… dan kau tak boleh melawan seperti tadi.”