[#TantanganMenulisNovel100Hari] PANDEMONIUM - CHAPTER XXI
CHAPTER XXI
Tsuneo
memandang botol kecil itu dengan wajah takjub, masih tak percaya botol itu bisa
memerangkap Yuka dan menyusutkannya. Aneh, Tsuneo yang menjunjung tinggi sains meski nyatanya punya kemampuan melihat masih belum menerima sepenuhnya
tentang hal-hal di luar nalar itu. Remaja berkulit bersih itu memutar-mutar
botol hingga Yuka berteriak-teriak karena merasa terganggu. “Yuka-chan, dengan begini kau menjadi milikku,”
desisnya.
“Lepaskan aku! Aku bukan jin dalam
botol!” amuk Yuka sambil memukul-mukul dinding botol yang mengelilingi. Yuka meloncat-loncat
agar bisa menyingkirkan tutup botol yang diberi lubang untuk pernapasan itu.
Tapi, seberapa banyak pun usahanya, ia tak bisa bebas. Tak satu retakan atau
tak satu mili pun ia mencapai tutup botol. Tsuneo yang tampak seperti raksasa
geming memandang tingkah Yuka, sesekali wajah sinis itu tersenyum lalu terbahak
saat menyaksikan Yuka terjatuh setelah loncat sekuat tenaga.
“Yuka-chan… kau benar-benar menarik. Aku benar-benar ingin memonopolimu
untukku sendiri bahkan… aku jadi tak mau menyerahkanmu pada serikat.”
“Kenapa? Kenapa kau bergabung ke
serikat itu? Sejak kapan? Apa kau yang membawakan gulungan itu ke mereka?” Yuka
histeris.
Tsuneo memicingkan mata lalu meletakkan botol
di atas meja belajar. “Karena aku tak percaya sihir, lebih tepatnya… aku
membenci sihir atau kekuatan-kekuatan aneh itu. Tatkala aku kecil, ayahku tewas
karena hal gaib. Orang-orang bilang ayah dikutuk oleh kekuatan aneh. Sejak saat
itu, aku membenci para penyihir atau orang-orang yang berkemampuan supranatural
termasuk Hiroyuki sensei yang bisa
melihat hal-hal gaib. Alasanku masuk ke klub hanya untuk menghancurkan Hiroyuki
sensei. Aku tidak akan membiarkan
orang-orang yang punya kemampuan supranatural menggunakan kekuatan untuk
menghancurkan orang lain.”
Yuka terpaku. “Aku tak mengerti,
apanya yang menghancurkan dari kekuatan mata seperti Hiroyuki-han? Dia hanya bisa melihat…”
“Orang yang menewaskan ayahku… dia
seperti Hiroyuki sensei, bisa
berkomunikasi dengan hal gaib dan hal gaib itulah yang mengganggu ayah hingga
ia tewas, loncat dari gedung tinggi ketika karirnya sedang ada di puncak. Lalu,
orang itu… menikahi ibu, menjadi ayah tiriku! Kekuatannya itu kemudian
ditularkan padaku, aku tak tahu bagaimana tapi setelah kehadirannya di rumah,
aku bisa melihat apa yang ia lihat meski terkadang kemampuan itu hilang. Mengerikan.
Dia pasti mengutuk juga agar aku tewas dan tak menjadi penghalangnya bersama
ibu. Dia ingin menguasai harta ayah, pasti begitu. Aku satu-satunya pewaris
tunggal dan akan memimpin perusahaan jika usiaku sudah cukup. Dia menanamkan
kekuatan mengerikan itu pada mataku, kekuatan yang membuatku benci dengan
hal-hal gaib karena itu menakutkan!” Tsuneo berteriak, wajahnya memucat, mata
membelalak.
“Aku ingin menghancurkan
kekuatan-kekuatan itu! Lantas, aku bertemu Emi-san tatkala aku berada di psikiater karena stress dengan mataku.
Dia membawaku ke perserikatan, mempertemukan dengan Takaya-san. Takaya-san si
peramal membantuku tenang dan dia menutup mata batin yang membuatku bisa
melihat hal-hal gaib itu. Aku pun bergabung dengan perserikatan dan terlibat
proyek pencarian gadis kuil si pemilik kekuatan suci. Konon katanya, kekuatan
suci itu bahkan bisa menghancurkan dunia, tidak saja mengendalikan makhluk gaib
tapi juga semua elemen di dunia ini. Lalu kau datang, menunjukkan kekuatan yang
mengendalikan udara tapi… saat itu aku tak bisa menyerahkanmu ke perserikatan
karena aku mulai menyukaimu. Aku ingin melindungimu.”
Yuka menahan napas.
Tsuneo kembali berbicara sambil
menatap Yuka, “Yang bisa aku lakukan pada serikat adalah menyerahkan gulungan
sembari memikirkan cara untuk melindungimu. Sampai akhirnya, aku mendengar kau
ditangkap… aku tak tahu darimana mereka tahu tentangmu. Sewaktu di festival,
aku merasa aneh denganmu. Kau yang tertembak dan kau yang muncul keesokan
harinya. Rasanya beda. Aku memang tertarik padamu, tapi jantungku berdegup
kencang saat bertemu denganmu setelah festival, kau yang asli. Aku membuka mata
batin kembali dengan bantuan Miwa-san meski
aku masih tak bisa mengendalikannya. Kadang terlihat kadang tidak. Aku berpikir
bisa melakukan sesuatu padamu…”
“Jadi, apa yang kau akan lakukan
padaku?”
Sebuah senyum kaku tergaris di wajah
Tsuneo. “Sudah kubilang akan kulindungi, kan? Kau pikir kenapa aku mencuri
botol aneh ini? Botol ini karya Takaya-san
untuk menjerat hal-hal gaib. Dia peramal yang cerdas. Penemuannya banyak
sekali, aneh tapi hebat. Pin naga itu juga penemuannya. Yuka-chan… izinkan aku melakukan sesuatu
untuk orang yang aku sukai.”
Yuka merasa tergugah mendengar Tsuneo
padahal hatinya sudah beprasangka buruk.
“Terima kasih,” ungkap Yuka pelan.
“Untuk apa? Aku tak berpikir untuk
membebaskanmu kecuali kau… setuju menjalin kontrak seumur hidup denganku.
Hiroyuki sensei terlalu tua untukmu.”
Tsuneo berucap dengan tenang, nada bicaranya sinis seperti biasa.
“Hiroyuki-han cukup untukku dan kami sudah melakukan pernikahan.”
“Begitu? Pernikahan bisa
diceraikan.”
“Mana boleh begitu!”
“Hmmph.”
●●●
“Hiroyuki
sensei!” Miki menutup mulut saat tahu
siapa yang berkunjung ke panti asuhannya. Hiroyuki tersenyum lembut diikuti
oleh Froshe, Mai, dan Isamu di belakangnya. Semua tamu itu masuk dan duduk
melingkar di ruang tamu. Beberapa anak kecil penghuni panti lalu-lalang sambil
berbisik-bisik. Froshe dan Mai yang membawa bingkisan segera menuju anak-anak
itu dan membagi-bagikan bingkisan sementara Hiroyuki sudah memasang wajah
serius. Miki dan Isamu yang dihubungi tiba-tiba tadi pagi untuk berkumpul jadi
tegang.
“Tsuneo… anggota Perserikatan Anti
Sihir,” Hiroyuki membuka percakapan yang disambut wajah kejut Miki dan Isamu.
Dia lantas memaparkan cerita selengkapnya, mulai dari awal. Yuka, shikigami, pertunangan, pernikahan,
perserikatan, ayahnya, hingga pertemuan dengan Tsuneo di Akihiro Company.
Cerita lengkap itu mendadak membuat Miki dan Isamu tak bisa bergerak beberapa
lama. Saat mendengar bagian pernikahan, Miki tersentak bak disambit petir.
Tapi, dia pura-pura tenang dan tak memprotes atau menyela cerita Hiroyuki. Ia
harus menerima apa pun, semuanya. Harus.
“Karena itu, aku ingin kalian mengawasi
Tsuneo. Memata-matainya,” tutup Hiroyuki.
Miki dan Isamu saling pandang.
Mereka tampak masih berat setelah menerima informasi begitu banyak. “Untuk
Yuka-chan dan Sensei, aku akan melakukan yang terbaik!” janji Miki. Isamu
mengangguk-angguk, “Serahkan pada kami, Sensei!”
●●●
Setelah
Hiroyuki serta Froshe dan Mai berlalu. Isamu yang akan beranjak ditahan oleh
Miki. Miki menundukkan kepala, air mata mulai menitik dan ia terisak. Isamu
terpaksa duduk kembali di samping Miki dan menunggu dalam diam hingga Miki
berhenti menangis.
“Sudah baikan?” tanya Isamu, menyentuh
gagang kacamata hitamnya. Kini, suara sesenggukan Miki tak terdengar lagi. Gadis
berkaos putih itu mengangguk dalam.
“Mau es krim?” lanjut Isamu. Miki
tertawa, “Kau selalu menawariku es krim setelah aku menangis. Apa tak ada
metode lain?” protesnya.
Isamu tersenyum, mengedikkan bahu.
“Kau mau sesuatu yang lain?”
“Waktumu.” Miki tersenyum lurus
hingga membuat wajah Isamu memerah, dia segera memalingkan wajah.
“Kau sedih karena tahu Hiroyuki sensei dan Yuka sebenarnya sudah
menikah?” Isamu bertanya takut-takut. Miki mengangguk, “Aku sedih sekaligus
senang. Aku tahu kalau mereka saling mencintai dari pancaran mata mereka saat
bertemu. Mereka berbohong dengan mengatakan mereka kakak adik… itu membuatku seperti
tidak bisa dipercaya. Aku tahu aku bukan apa-apa dan mereka seperti itu karena
ada alasan yang kuat, tapi… tetap saja aku sedih. Ehm, aku bukan patah hati toh
aku sudah ditolak oleh sensei sejak
dulu. Meski begitu, rasanya aneh saat mendengar kabar pernikahan orang yang
pernah kita sukai… walau aku lega setelah menangis. Terima kasih telah menemani.”
“Waktuku tidak gratis,” seru Isamu.
Miki mendelik heran. “Balas dengan waktumu juga,” sambung Isamu. Miki mendengus
tapi tersenyum penuh arti.
●●●
Emi
melangkah angkuh diikuti Miwa dan Tuan Akihiro. Shikigami yang terpasung tak acuh pada kedatangan mereka. Untuk
kesekian kali Emi memerlihatkan gulungan pada shikigami, memintanya membaca hingga akhir lalu menjelaskan pada
mereka apa yang tertulis di sana. Emi punya firasat kalau apa yang dibaca oleh
Yuka –yang asli- waktu itu belum selesai, dia begitu yakin ada lanjutan dari
kalimat ‘Dalam jiwa penjaga kuil terjaga kristal suci yang menggetarkan dunia’
Setelah penyiksaan demi penyiksaan,
mulai dari bius yang melumpuhkan, sampai ancaman pada ibunya, shikigami yang memang tak bisa membaca
tulisan itu tidak mampu mengelak dari segala perilaku kejam Perserikatan Anti
Sihir, perserikatan yang berkoar menjaga perdamaian dunia tapi memerlakukan
orang tanpa kasih.
“Kau masih bergeming, hari ini kami
akan membawamu ke ruang riset untuk memeriksa kekuatan.” Emi berdesis.
Beberapa laki-laki berpakaian serba
putih memasuki ruangan, mendorong katil shikigami
keluar menuju ruang riset. Di ruang riset, shikigami dipasangi alat-alat di sekujur tubuh dan mesin-mesin
dihidupkan. Orang-orang asing dengan pin naga tersemat di seragam mereka
memandangi layar mesin sembari melirik ke shikigami.
Shikigami kembali lumpuh, tak bisa bergerak dan hanya memasrahkan diri.
“Apa hasilnya?” Emi bertanya setelah
beberapa jam.
Seorang peneliti memberikan beberapa
lembar kertas, “Aneh… dia seperti bukan manusia. Kosong, bak boneka hidup.”
Emi menaikkan alis lurusnya, “Apa
itu?”
“Entahlah, ini pertama kali aku
bertemu orang seperti itu.”
Emi melewati para peneliti,
mengabaikan laporan yang tak ia mengerti. Ia menilik shikigami, “Aku harap saat ini kau bisa membaca gulungan itu sampai
habis, jika tidak… orang yang paling penting bagimu akan tewas.” Emi
menunjukkan sebuah tablet PC. Mendadak
mata shikigami tersentak, sosok yang
berharga bagi Yuka terbaring di sebuah penjara, gelap dan dingin.
“Sensei…”
panggil shikigami.
“Oh, kau memanggil suamimu sendiri
dengan sensei?” Emi berdecak, “Nah… kau
lihat, dia sudah memakai pin naga di dada kiri, tepat di atas jantung. Jika aku
menekan sebuah tombol, dia bisa langsung menjadi kepingan, kau tak akan bisa
bertemu dengannya lagi. Kau mencintainya, kan? Karena itu, bekerjasamalah.”
Shikigami
bergidik. Dia tak tahu harus apa karena dia memang tak bisa membaca
gulungan itu.
Tiba-tiba, tebersit ingatan saat ia
di ruang klub supranatural.
Yuka pernah membaca gulungan itu.
Shikigami
memanggil serpihan ingatan, lalu berkata pada Emi. “Izinkan aku membaca
gulungan sekali lagi.”
Emi menarik senyum.
“Dalam jiwa penjaga kuil terjaga
kristal suci yang menggetarkan dunia. Hisap jiwa sang penjaga kuil dan kristal
akan berpendar.”
Emi menatap takjub pada shikigami, menaikkan dagu dan memandang
tajam shikigami. “Bagus, terima kasih
telah membacanya. Kemudian, bersiaplah untuk penghisapan jiwamu…” Emi berjalan
keluar dengan angkuh, menggulung gulungan dan berbisik pada Miwa yang setia
berjalan di belakangnya. “Persiapkan ritual penghisapan jiwa seperti yang
ditulis di buku milik Takaya-san.”
“Baik Emi-san.”