[#‎TantanganMenulisNovel100Hari‬] PANDEMONIUM - CHAPTER XVIII




Mie soba yang diteguk oleh Yuka terasa hangat terutama karena Hiroyuki makan bersamanya malam ini. Beberapa orang yang mengunjungi restoran kecil itu melirik kecil pada Yuka, mungkin kemanisan penampilan gadis kecil tersebut mengusik feromon mereka. Hiroyuki memandang balik orang-orang itu sambil berganti posisi dari berhadapan Yuka ke samping Yuka, merangkul. Setelah orang-orang berlalu, Hiroyuki kembali ke hadapan Yuka dan memakan mie soba.
            Dan efek sebentar dari rangkulan itu terasa sampai utas mie terakhir bagi mereka berdua meski keduanya menepis rasa yang menyusupi hati tanpa terelak. Tiada kata, mereka menghabiskan waktu sekitar satu jam di restoran.
            “Yuka, setelah ini kita mau ke mana?” Hiroyuki bertanya setelah mereka keluar dari restoran. Yuka mengamati sekeliling, “Hiroyuki-han sendiri ada tempat yang ingin dikunjungi? Aku tidak terlalu tahu soal Tokyo atau kencan…”
            “Melihat bulan itu… bagusnya di tempat yang tinggi dan tak terhalang gedung,” Hiroyuki bergumam sembari memikirkan tempat seperti itu ada di mana. Sejujurnya, Hiroyuki tidak pernah melakukan tsukimi, dia tak punya sense dengan hal-hal seperti itu. Di malam hari, ia lebih suka tidur cepat atau membaca buku dibandingkan melihat bulan, rasanya sia-sia. Tapi, saat ini bersama Yuka melakukan apa pun terasa berharga, Yuka mengalihkan semua pandangan dan menjerat Hiroyuki hidup-hidup.
            “Hiroyuki-han, aku punya ide. Tapi…” Yuka ragu-ragu sambil melirik tangan Hiroyuki. “Apa?” tukasnya bingung.
            “Kita harus bergandengan tangan…”
            “Hah?”
            Dengan mata terpejam dan wajah memerah, Yuka meraih tangan Hiroyuki. Dengan cepat Yuka menarik Hiroyuki ke gang kecil yang sempit dan gelap. Tak ada seorang pun di sana. Sekian detik Hiroyuki berpikir tentang hal-hal liar yang bisa dilakukan olehnya dan Yuka.
            “Wahai udara yang menyelimuti kami, wahai udara yang senantiasa hadir. Bawa serta diri kami dalam lumatanmu.”
            Melihat reaksi Yuka, Hiroyuki mengecap rasa kecewa. Ternyata Yuka tak berpikiran sama dengannya.
            Hiroyuki lantas merasa ringan seperti balon, kaki yang menginjak aspal mulai terangkat. Yuka tersenyum dan mengeratkan genggaman di tangan Hiroyuki. “Kita bisa melihatnya di udara, tanpa gangguan gedung-gedung pencakar langit.” Yuka berbisik riang.
            Sepasang suami istri itu melesat bagai roket berkecepatan tinggi. Perlahan Hiroyuki membuka mata, awan-awan tampak bergerak di bawah kaki. Tatkala mendongak, bulan hadir begitu dekat seperti bisa disentuh oleh tangan. Ia melirik Yuka, Yuka balas melirik dan mereka saling melempar senyum.
            “Semoga kita bisa bersama selamanya,” bisik Hiroyuki.
            “Aku menyukaimu,” balas Yuka tegas.
            “Aku juga menyukaimu.”
            Sekitar sepuluh menit mereka berdua hanya saling menatap, lalu memalingkan wajah ke arah bulan. Kehangatan mulai memenuhi diri mereka, ikatan di tangan mereka semakin erat dan hati mereka bertaut lebih dekat.
●●●
“Kalau aku bilang aku tak mau pulang, apa pendapatmu?” Hiroyuki melempar tanya pada Yuka setelah mereka turun dari kereta. Yuka menoleh bingung, “Kau mau ke mana? Kau tak suka bertemu Hiroaki?”
            “Bukan, hanya saja…” Hiroyuki tampak gugup, mengacak-acak rambut hitam pendeknya kasar.
            Yuka mendekati Hiroyuki, memandangnya lembut.
            “Aku tak suka malam kita diganggu.”
            “Jadi?”
            “Apa kau mau menginap di luar? Berdua denganku, hanya denganku.”
            Hiroyuki tak berani menatap Yuka. Jika Yuka sampai menjawab iya, dia bingung apakah hubungan platonis yang mereka sepakati harus dihancurkan atau tidak karena semenjak sentuhan tangan tadi, Hiroyuki tak mau melepaskan tangan Yuka lagi. Ia ingin menguasai Yuka sendirian, melumatnya utuh-utuh.
            “Dengan satu syarat,” tawar Yuka.
            Hiroyuki menaikkan alis, “Syarat?”
            “Sentuh aku.”
            Syarat yang langsung memecah pertahanan Hiroyuki. Hiroyuki menggelengkan kepala, dia masih harus konsisten pada janjinya untuk menjaga Yuka sampai dia lulus. Yuka harus tetap gadis.
            “Aku tak bisa. Kita dalam hubungan platonis. Kau harus menunggu sampai lulus,” Hiroyuki menelan pahit kata-katanya.
            “Kalau begitu kita pulang.” Yuka membalikkan badan dan menjauh dari Hiroyuki. Tangannya gemetaran, dalam hati ia ingin sekali menyentuh Hiroyuki, tak melepaskan tangan Hiroyuki yang menghangatkan. Hasratnya terbangun, ia ingin memeluk Hiroyuki, memiliki, bermesraan, disentuh, menyentuh, menyatu, dan segala hal yang bisa membuatnya lebih dekat, paling dekat dengan Hiroyuki. Rasa cinta di dalam hati telah merubahnya menjadi sosok egois dan nakal. Ia ingin memiliki Hiroyuki. Hanya untuknya.
            Yuka benci dengan hubungan platonis yang digaungkan oleh Hiroyuki karena membuatnya tak bisa disentuh atau menyentuh. Yuka kesal, meski ia mengerti kalau Hiroyuki tengah menjaganya.
            “Hiroyuki-han,” gadis itu memanggil sedih sambil mempercepat langkah kaki agar ia tak mendengar suara langkah Hiroyuki di belakangnya.
            “Yu-ka-chan.” Seorang wanita berpakaian kimono muncul di persimpangan menuju apartemen Hiroyuki. Yuka terperanjat, matanya membesar. Tubuhnya geming melihat sosok familier di hadapannya, yang dirindukannya.
            “Ibu…”
            “Yu-ka-chan.
            “Ibu…” Yuka berlarian, tepat di saat itu Ibu Yuka menyeringai. Hiroyuki berteriak kencang, “Yuka!”
            Yuka tak mengubris panggilan Hiroyuki, dia sudah berada dalam pelukan ibunya. “Akhirnya kami… menemukanmu,” desis Ibu Yuka.
●●●
“Apa maksudmu Yuka-chan menghilang?” Froshe keluar dari mobil dan segera berlarian ke arah Hiroyuki. Hiroyuki tampak pucat, “Ibunya… ibunya muncul dan membawa Yuka dengan sebuah mobil yang melesat begitu cepat.”
            “Kalau itu ibunya, wajar saja, kan?” balas Froshe.
            “Tapi… di dada kiri, ada pin seperti pin naga. Nyonya Kuraki memakai pin naga!”
            “Maksudmu, Nyonya Kuraki ikut Perserikatan itu?” timpal Mai.
            Hiroyuki menarik-narik rambut seperti orang gila, mondar-mandir tak tentu arah. “Yuka…Yuka… aku tak bisa mengejarnya. Aku tak bisa melindunginya padahal aku… aku…” dia semakin panik dan tak tenang. Froshe dan Mai segera mengontak tim mereka, meminta penyelidikan TKP dari CCTV yang terpasang di daerah sekitar kejadian.
            Di tengah itu, Hiroaki muncul. “Kak, kenapa berkumpul di sini?. Oh ya, tadi Nyonya Kuraki datang, dia meninggalkan ini dan aku mau mengembalikannya, apa kalian lihat?”
            Hiroyuki merebut bungkusan di tangan Hiroaki.
            Sebuah kotak yang berisi pin naga.
            “Ngomong-ngomong, Yuka-chan mana? Apa Nyonya Kuraki membawanya? Dia bilang dia sangat merindukan Yuka.”
            Hiroyuki membisu.      


Postingan populer dari blog ini

Contoh Kerangka Karangan (Outline) Novel

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Mai Kuraki in the poetry