[#‎TantanganMenulisNovel100Hari‬] PANDEMONIUM - CHAPTER XV




Keterangan :


Judul : Pandemonium


Penulis : Ariestanabirah


Genre : Romansa, Spiritual, Fantasi.


Sinopsis: 


Kuraki Yuka (18 tahun) adalah seorang gadis berkekuatan aneh, kekuatannya sering disebut dengan ‘kekuatan suci’. Untuk melindunginya, Tuan Kuraki –ayah Yuka- meminta Yuka pergi ke Tokyo dan hidup bersama Akihiro Hiroyuki (27 tahun), tunangan Yuka. Sialnya, Yuka memakai kekuatannya dan membuat sebuah shinigami (Yuka tiruan) sementara dirinya yang asli menjelma seperti hantu yang tidak bisa dilihat manusia!



Chapter XV
  
Untuk Hiroyuki-han.

Maaf, lain kali aku tidak akan melakukannya.
Asal kau tidak menjahiliku.
Kau menyebalkan.

Salam,
Yuka.

Yuka memalingkan mata sementara Hiroyuki senyum-senyum membaca surat yang ditulis Yuka untuknya. Saat ini Yuka tak bisa bergerak, Hiroyuki menindihnya sambil membaca surat. Yuka menahan napas, menghitung detak jantungnya karena tak berani menatap mata Hiroyuki.
“Kau sudah membuat surat-surat untukku sementara aku belum membalasnya. Jadi, aku akan membalasnya…” Hiroyuki mengecup dahi Yuka dan berhitung, satu.
Mata kanan Yuka, dua.
Mata kiri Yuka, tiga.
Yuka masih memejamkan mata dan menerima pasrah tiap kecupan dari bibir hangat Hiroyuki.
Hidung, empat.
Pipi kanan, lima.
Pipi kiri, enam.
“Ah, berapa banyak surat yang kau kirim?” tanya Hiroyuki, berpura-pura lupa. Yuka tak mampu menjawab karena tenggorokannya tercekat.
“Tujuh,” Hiroyuki mulai berhitung lagi dan mengecup telinga kanan Yuka.
“Delapan,” kini telinga kiri Yuka.
“Sembilan,” Hiroyuki memegang jemari tangan kanan Yuka dan mengecup jempol.
“Sepuluh,” Hiroyuki meraih ujung rambut Yuka yang mulai panjang, menempelkannya pada bibir lalu berhenti. “Masih lama untukku membuat cap di seluruh tubuhmu. Kau masih harus menulis banyak surat…” tukas Hiroyuki. Ia bangkit sembari menyimpan surat dari Yuka pagi itu di kantong jeans.
Yuka yang tergolek mengembuskan napas panas, wajahnya memerah karena tubuh masih gemetar akan kecupan-kecupan yang dilayangkan Hiroyuki. Begitu banyak kecupan itu hingga membuat Yuka memanas. Suhu tubuhnya meningkat drastis. Saat ia melirik diam-diam ke arah Hiroyuki yang tampak tenang, seolah kecupan-kecupan tadi tak pernah terjadi- membuat Yuka jadi geram. Hanya ia sepertinya yang merasakan gejolak aneh di tubuh.
Yuka salah, Hiroyuki tentu saja yang paling tegang lantaran kecupan-kecupan kecil itu hingga dia tak berani memandang Yuka karena Yuka yang terbaring tanpa pertahanan membuat hasratnya hampir tak bisa dibendung. “Aku akan membasuh muka,” Hiroyuki melesat ke kamar mandi.
●●●
Tok! Tok!
Yuka bergegas membuka pintu dan mendapati Froshe dan Mai menyengir. Dua orang bertubuh tinggi itu mendongak ke tempat tidur yang rapi, “Mana Hiroyuki?” tanya Froshe penasaran sambil berspekulasi apakah rencananya mempersatukan Hiroyuki dan Yuka berhasil. Yuka menunjuk kamar mandi. Froshe segera menerobos masuk dan mengedor pintu kamar mandi, berusaha memainkan Hiroyuki. “Sudah keluar? Banyak?” Froshe berteriak.
            Hiroyuki yang mengerti maksud pembicaraan Froshe memerah. “Tch!” umpat Hiroyuki kasar.
            Froshe tertawa kecil, lalu memerhatikan suasana tempat tidur yang rapi, lalu bantal di sofa menggelitik Froshe. “Kenapa ada bantal tidur di sofa?” selidik Froshe.
            “Hi-Hiroyuki-han… tidur di sofa.”
            Froshe dan Mai berpandangan, mendelik serempak. Lantas Froshe tergelak, tertawa nyaring, menertawakan Hiroyuki yang sibuk di kamar mandi. “Keluarnya di kamar mandi, ya?” sindirnya. Hiroyuki semakin memerah, ia ingin menghajar Froshe detik itu juga tapi jika ia keluar sekarang maka mereka semua akan melihat wajah malunya Hiroyuki. Hiroyuki memutuskan untuk keluar setelah Froshe yang mengesalkan berlalu.
            “Yuka-chan!!” tiba-tiba Miki sudah berdiri di depan pintu kamar dengan ban renang melingkari leher. “Kemarin kau kecapekan, ya? Sudah baikan?” Miki tampak khawatir, dia memutar-mutar Yuka. Yuka melihat Froshe seolah berkata, ‘kau menyebarkan gosip aku kecapekan?’. Froshe menyahut ‘ya’.
“Kalau sudah sehat, ayo ke pantai! Malam ini juga akan ada barbeque dan kembang api,” Miki menarik tangan Yuka. Yuka tersenyum kecil. “Aku akan menyiapkan baju renang dulu.”
“Froshe-san, Hiroyuki-sensei mana? Dari kemarin tidak terlihat, kamarnya juga terkunci.” Miki bertanya pada Froshe. “Dia lagi sibuk, mungkin nanti malam baru bisa keluar.” Froshe membalas asal.
Dari balik pintu kamar mandi, Hiroyuki yang mendengar percakapan Yuka dan Miki langsung membayangkan Yuka memakai bikini. Hanya sebentar karena sedetik kemudian ia menjerit dalam hati, tak rela Yuka dilihat oleh orang lain karena ia bahkan tak pernah melihat Yuka dalam busana minim.
Setelah suara Miki dan Yuka terdengar jauh, Hiroyuki keluar dari kamar mandi dan bertemu pandang dengan Mai dan Froshe. Dua sahabat karibnya itu memandang penuh kejahilan ke arah Hiroyuki. “Jangan-jangan… kau masih perjaka, ya?” tebak Froshe, langsung menusuk hati sanubari Hiroyuki.
“Tch.” Hiroyuki berdecak sembari keluar untuk menjaga Yuka dari mata lelaki lain. Froshe dan Mai memandang punggung Hiroyuki dan berkomentar, “Lolicon itu benar-benar hebat, bisa menahan hasratnya sampai sekarang.” Froshe menggelengkan kepala. Mai menyambung, “Mau bagaimana lagi? Dia guru dan Yuka murid. Sampai Yuka lulus tahun depan, dia tak bisa melakukan hal itu.
“Menyukai seseorang dalam waktu lama adalah hal luar biasa. Hiroyuki hanya pernah membicarakan perempuan bernama Yuka sejak kita mengenalnya, dia begitu mencintainya. Karena cinta, dia menjaga keutuhan gadis itu meski sepertinya aku lihat ada bekas kecupan di Yuka,” Froshe berkata sok bijak sambil menahan geli melihat wajah merah Hiroyuki saat ia menjahilinya tadi.
“Kita lihat saja sampai kapan Hiroyuki-kun bertahan,” tandas Mai.
Dua orang itu tampak seperti orang tua yang melihat tumbuh kembangnya Hiroyuki dan Yuka.
●●●
“Tuan, ini Takaya Miwa, putri Takaya Haruno.” Emi mempersilahkan Miwa untuk memasuki ruangan luas dengan pemandangan kota di balik jendela besar. Laki-laki yang duduk angkuh di kursi putar menatap Miwa dengan tatapan elang. “Kau bisa meramal juga?” tanyanya dengan suara berat yang kasar.
            Miwa tampak kikuk dan menundukkan kepala, “I-iya.”
            Emi menyodorkan beberapa kertas, “Ini record sepak terjang Takaya Miwa-san di dunia ramal. Anak-anak sekolah menyebut ramalan asmaranya 100% benar.”
            Laki-laki besar itu meraih kertas-kertas yang diserahkan Emi dan melihatnya dalam sekali pandang. Mata hitam laki-laki itu menyelidiki Miwa dari penampilan, Miwa masih menundukkan wajah, bingung mengapa ia bisa ada di sini.
            “Saat ini, kau akan mengemban tugas yang dipikul oleh ibumu. Tugas itu adalah…  menemukan kekuatan suci dengan ramalanmu. Kami akan memberimu kondominium khusus dan uang bulanan. Kau hanya perlu fokus di tugas. Satu lagi, jika kau bisa membaca sebuah gulungan maka kau akan mendapatkan apa pun yang kau inginkan –sesuatu yang bisa dibeli dengan uang-,” Laki-laki itu menunggu respons Miwa. Miwa masih terpekur dalam pemikiran yang kalut.
            Emi lantas membawa masuk gulungan yang dibicarakan. Miwa dipinta mendekat dan membuka gulungan itu.
            “Bagaimana? Kau bisa membacanya atau tahu sesuatu tentang tulisan ini?” tanya Emi tak sabar.
            Miwa mengamati tulisan aneh tak beraturan itu, kemudian menggeleng.
            Emi menggulung lagi gulungan itu dan menyimpan di brankas ruang rahasia yang hanya diketahui olehnya dan laki-laki besar itu alias bos Emi.
“Tch, kita harus menemukan orang yang bisa membaca gulungan agar tatkala gadis pemilik kekuatan suci itu ada, kita tahu apa yang harus kita lakukan padanya.” Laki-laki itu dengan geram berkata hingga gigi-giginya bergesekan.

●●●
Miki menarik tangan Yuka dengan kencang dan dua gadis muda berpakaian renang itu berlarian menginjak bulir-bulir pasir. Isamu dan Tsuneo yang sedang berlomba membangun istana pasir sontak menoleh, darah muda mereka mengalir deras melihat kecantikan Miki dan Yuka.
            “Ternyata kau perempuan,” sindir Isamu pada Miki. Miki menginjak kaki Isamu dan menarik kerah kemejanya, “Memangnya kau pikir selama ini aku laki-laki?”
            “Sikapmu yang seenaknya itu yang bikin aku lupa.”
            Tsuneo melempar pasir ke muka Isamu dan Miki, melerai perdebatan kecil yang bisa menjadi besar di tangan Miki. “Kita masih dalam pertandingan, dan kau dilarang berpacaran.” Tsuneo melirik Isamu dengan tatapan tak senang. Isamu dan Miki kompak mencekik leher Tsuneo, “Siapa yang pacaran?” teriak mereka.
            “Membunuhku hukumannya dihantui…” Tsuneo tetap tenang meski ada rasa tak enak lantaran cekikan dari dua orang bersamaan. Isamu dan Miki melepas cekikan mereka sementara Yuka yang sedari tadi memerhatikan sudah menghilang. “Ke mana Yuka-chan?” tanya Miki bingung.
●●●
Hiroyuki melepas tangannya yang membungkam mulut Yuka. Yuka yang tadi sempat syok karena dibekap tiba-tiba langsung membalikkan badan dan memukul-mukul. Setelah sadar kalau Hiroyuki yang melakukan penculikan dari klub supranatural di pantai, Yuka menghentikan pukulan bebasnya. “Kau… kau membuatku takut. Aku kira… aku kira… aku diculik,” Yuka hampir menangis, teringat masa-masa penculikan yang menjadi kesehariannya di masa kecil. Untung saja dia baru melayangkan pukulan yang tak bertenaga bagi Hiroyuki, bukan kekuatan aslinya.
            Hiroyuki meraih kepala Yuka dan meminta maaf, lalu tatkala kedua bola matanya menangkap leher, lengan, perut, paha, dan kaki yang terbuka Hiroyuki langsung membuka jaket dan memasangkan ke Yuka. “Pokoknya tak boleh terlihat oleh siapa pun kecuali aku,” perintahnya. Yuka menerima perintah itu dengan sebuah anggukan.
            “Kakimu juga harus ditutupi,” Hiroyuki mengamati sekeliling, mencari sesuatu yang bisa digunakan. Dengan tangan yang mengacak-acak rambut, dia berdecak. Tak ditemuinya satu benda pun untuk menyembunyikan keindahan kaki Yuka. Akhirnya, ia berencana mengurung Yuka di kamar. Hiroyuki menarik cepat Yuka menuju penginapan, membuka pintu kamarnya dan mendorong Yuka masuk.
            “Jika kau mau bermain di pantai, tolong pakai pakaian tertutup.” Hiroyuki memandang Yuka lekat. Tak lama, ia sadar kalau dia sudah salah memasukkan Yuka ke kamarnya karena pakaian Yuka ada di kamar Froshe.
            “…aku akan mengambil barang-barangmu, kau tunggu di sini,” baru saja Hiroyuki ingin membuka pintu, Yuka memeluk dari belakang. Hiroyuki merasakan kulit tubuh Yuka dari balik kaos yang terpasang di badannya. Glek.
            “Kenapa? Kau takut sendirian di kamar?”
            Yuka tak menjawab, dia sendiri bingung mengapa tiba-tiba memeluk Hiroyuki. Tatkala melihat punggung Hiroyuki, secara otomatis naluri Yuka menggerakkan tubuh, lalu berakhir dengan sebuah pelukan. “…dulu aku selalu diculik karena kekuatan aneh ini. Sejak itu aku tak pernah keluar rumah dan menjalani homeschooling. Aku tak pernah bersama teman-teman, aku…”
            “Kau ingin bermain bersama anak-anak itu, kan?” Hiroyuki melepas tangan Yuka yang melingkari pinggangnya. “Aku tak akan mengekang atau melarangmu karena teman adalah salah satu hal yang penting. Tapi, aku tak mau tubuhmu terlihat oleh orang lain…” Hiroyuki bersikap dewasa dengan menekan ego dan hasrat kuat-kuat. Karena dia orang dewasa, karena dia adalah guru, karena dia adalah penjaga Yuka maka ia harus bersikap bijak dan mengabaikan keinginan untuk mengurung Yuka, hanya untuknya.
            Hiroyuki berbalik dan mengetuk kepala Yuka ringan, “Dasar bocah! Melihatmu seperti ini aku jadi seperti penjahat saja. Silahkan bermain, tapi pakai jaket itu. Tak boleh dilepas, jika ada laki-laki nakal hajar mereka seperti kau menghajarku,” pesan Hiroyuki. Ia lalu membuka pintu kamar, melirik Yuka sembari memintanya kembali ke pantai.
            Yuka melewati Hiroyuki, setelah beberapa langkah ia kembali, menarik kerah kaos Hiroyuki lalu melayangkan ciuman ke pipi kiri Hiroyuki. Wajah Hiroyuki sontak menghangat dan terpaku karena ciuman pipi yang tiba-tiba.
            “Aku akan kembali,” Yuka tanpa memandang mata Hiroyuki bergegas berlarian. Hiroyuki tertawa kecil, menyentuh pipi kirinya yang masih merona karena merasakan bibir lembut Yuka untuk pertama kali. “Pipi? Kenapa bukan bibir saja, ya? Lebih dekat jangkauannya dibanding pipi…” Hiroyuki sedikit kecewa.
●●●
“Yuka-chan! Kau dari mana? Mengapa memakai jaket sensei?” selidik Miki saat melihat Yuka dengan wajah sangat memerah datang.
            Dengan gugup Yuka menjelaskan, “Hiro- ehm… sensei bilang di pantai banyak laki-laki nakal.”
            Miki tergelak, “Sensei benar-benar sistercomplex!”
            “Miki-chan, mengapa kau menyukai sensei?” Yuka tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang selama ini mengusiknya.
Miki tampak terperangah dengan pertanyaan Yuka. Wajahnya kemudian memerah, “Saat SMP, aku adalah yankee[1] dan tak suka pergi ke sekolah. Suatu hari teman-temanku mencegat anak-anak SMA untuk membuktikan kekuatan. Lalu… sensei datang untuk menolong murid-muridnya. Dia menasehati kami agar kami memikirkan masa depan, lima tahun atau sepuluh tahun lagi, kami akan menjadi apa? Pertanyaan sensei waktu itu begitu membuatku sedih karena aku tak tahu seperti apa aku di masa depan. Aku tak punya orang tua, tak punya harta, tak punya kepintaran. Orang sepertiku… hanya akan jadi sampah masyarakat atau bisa jadi aku jatuh dalam lembah nista.” Mata Miki menitikkan air. Yuka mendengarkan dengan sabar dan membayangkan situasi Miki.
            “Orang tuaku meninggal saat aku kecil, karena tak punya keluarga tetangga menyerahkanku ke panti asuhan. Sampai sekarang aku tinggal di panti asuhan. Ah, tentang sensei… sejak pertemuan itu, aku mengikuti sensei dan mencari tahu tentangnya. Lalu aku ikut ujian masuk SMA yang diajar sensei. Aku merubah imejku untuk memperbaiki diri.”
            “Impianmu menjadi pengantin sensei…
            Miki menghapus air matanya dan tertawa, “Sebenarnya itu hanya main-main, aku memang suka sensei tapi sensei tak pernah melihatku selain sebagai murid. Aku pernah bertanya apa dia pernah jatuh cinta, dia bilang pernah-masih-dan akan. Saat aku tanya seperti apa wanita itu, dia bilang wanita itu istimewa. Setelah itu, aku menyerah meski aku masih sering memainkannya dengan kata-kata ingin menjadi pengantinnya. Yuka-chan, tolong jangan bilang sensei kalau aku main-main, ya!”
            Yuka entah mengapa tampak lega, ia tersenyum kecil dan berjanji untuk tak mengatakan satu rahasia Miki pada Hiroyuki.
            “Apa impianmu saat ini?” lanjut Yuka. Miki membaringkan tubuh di pasir pantai dan menatap langit biru yang jauh. Tangannya lantas seperti hendak mencapai langit, “Aku ingin bekarya sebagai seorang desainer. Sensei bilang ada beasiswa desainer dan dia menyemangatiku untuk mendapatkan beasiswa itu. Aku akan ikut seleksi beasiswa di musim dingin nanti.”
            “Semoga kau mendapatkannya,” tukas Yuka.
            Miki menyeringai kecil, “Kalau kau… apa impianmu di masa depan? Di angket kau mengisi bekerja, ya? Apa kau tak punya impian khusus atau passion? Maksudku…”
            Yuka menganggut, mengerti ucapan Miki yang tak selesai itu. “Aku ingin menulis manga, tapi karena tak bisa menggambar sensei bilang aku bisa mencoba jadi penulis novel. Sensei memintaku latihan menulis semenjak sekarang dan dia juga membelikanku buku-buku sebagai bahan referensi.” Yuka terbayang rak yang sekarang tak muat lagi untuk memajang buku-bukunya dan Hiroyuki. Hiroyuki memang rajin membawakan buku-buku baru, entah itu buku terbitan baru-buku bekas-sampai buku pinjaman yang ia rasa cocok dengan selera baca Yuka.
            Miki tampak terkejut dengan ucapan Yuka, gadis itu memeluk bahu Yuka dengan akrab, “Semoga kau bisa menjadi penulis hebat di masa depan.”
            “Terima kasih, kau juga jadi desainer hebat masa depan.”
            Dua gadis itu lantas tertawa kecil.
            “Dua orang di sana! Ayo tanding voli pantai!” Isamu melempar bola voli ke arah Miki. Dengan tangkas, Miki menangkap lalu menyeringai ke arah Isamu. “Kau mengundang harimau yang lapar ke sarang ayam.”
            Isamu berdecak, “Jangan banyak omong, kita mulai pertandingan.”
            Miki dan Tsuneo lantas jadi satu tim, Isamu dan Yuka satu tim.
            Pertandingan tim itu sebenarnya hanya pertandingan antara Miki dan Isamu, dua orang yang ternyata jago olahraga itu bertanding sungguh-sungguh dan tak membiarkan Yuka atau Tsuneo menyentuh bola sedetik pun. Lambat laun, Tsuneo dan Yuka mundur dan menyaksikan Miki dan Isamu yang masih sibuk berdua tanpa menyadari teman tim mereka sudah beralih fungsi jadi penonton.
            “Yuka…” Tsuneo memanggil Yuka.
            Yuka menoleh, ini pertama kali ia berbicara dengan Tsuneo. Selama ini Tsuneo yang dingin tak pernah mengucapkan satu kata pun pada Yuka bahkan tak pernah untuk menyapa. Yuka yang kaku juga tak memulai interaksi.
            “Aku menyukaimu,” Tsuneo berkata tegas dan menatap Yuka lekat.



[1] Berandalan/genk

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mai Kuraki in the poetry

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Fase Baru