[#‎TantanganMenulisNovel100Hari‬] PANDEMONIUM - CHAPTER VIII




Keterangan :
Judul : Pandemonium
Penulis : Ariestanabirah
Genre : Romansa, Spiritual, Fantasi.
Sinopsis: 

Kuraki Yuka (18 tahun) adalah seorang gadis berkekuatan aneh, kekuatannya sering disebut dengan ‘kekuatan suci’. Untuk melindunginya, Tuan Kuraki –ayah Yuka- meminta Yuka pergi ke Tokyo dan hidup bersama Akihiro Hiroyuki (27 tahun), tunangan Yuka. Sialnya, Yuka memakai kekuatannya dan membuat sebuah shinigami (Yuka tiruan) sementara dirinya yang asli menjelma seperti hantu yang tidak bisa dilihat manusia!

CHAPTER VIII

Peristiwa di taman hiburan yang menyebabkan Hiroyuki terluka seperti baru saja terjadi kemarin padahal saat melihat kalender bulan sudah berubah ke Juni. Seragam musim dingin sudah berganti ke seragam musim panas yang lebih pendek dan untuk yang kelas tiga akan ada ujian. Gara-gara ujian, Hiroyuki yang tahu sisi kelemahan shikigami dalam pelajaran matematika yang diajarnya membuat jadwal ketat, mereka belajar di rumah setiap pulang sekolah.

            Seperti malam ini.

            “Jika tak menyelesaikan soal-soal itu maka kau tak dapat makan malam…” tegas Hiroyuki dengan wajah tak tega. Shikigami mengerucutkan bibir dan memandang sebal tumpukan kertas soal matematika, “…kenapa harus ada matematika di dunia ini?” decaknya. Yuka mengangguk-angguk setuju pada shikigami. “Memangnya rumus-rumus itu bakal dipakai di masa depan nanti? Tak ada hubungannya dengan mimpi masa depanku,” sambung Yuka, ia duduk di dekat shikigami dan melihat benci ke angka-angka yang tertulis di kertas.

            Hiroyuki mengembuskan napas, “Kalau kau mendapat nilai yang baik, aku akan memberimu hadiah.”

            Mata Yuka dan shikigami menerang bak kunang-kunang mendengar kata hadiah. Hiroyuki memainkan mata, dasar bocah! Diimingi hadiah langsung semangat.

            Shikigami meraih pensil, mengetuk-ngetukkan di meja sementara Yuka terpekur, kepalanya kosong seketika. Lautan angka itu menjadi asing lebih dari tulisan di gulungan yang hilang. Gambar-gambar bangunan abstrak di soal itu tampak keluar mengejek ketidakmampuan Yuka menyelesaikan masalah mereka. “Kenapa kalian harus menjadi masalah? Seharusnya kalian atasi sendiri masalah!” cibir Yuka frustasi.

            Hiroyuki duduk di dekat Yuka, memandang shikigami yang masih bergeming meski jam dinding sudah berdetak sebanyak beberapa menit. Yuka tak menyadari kehadiran Hiroyuki di sampingnya lantaran pusing karena soal-soal itu. Shikigami yang mengkopi kemampuan otaknya sama sekali tak bisa diapa-apakan karena dari dasarnya, Yuka tidak suka dan tidak bisa matematika.  

            “Bukankah aku sudah pernah memberi catatan cara-cara singkat menjawabnya?” tegur Hiroyuki. Yuka dan shikigami menoleh. Wajah Hiroyuki yang begitu dekat dengan Yuka sontak membuat Yuka salah tingkah. Tangan Hiroyuki menopang dagu dan memandang Yuka, “Cepat kerjakan! Aku juga mau makan malam…” tukasnya. Shikigami mendengus sebal, membuka tas sekolah dan mengeluarkan buku kecil berisi cara-cara singkat menjawab soal Matematika. Hiroyuki membuatnya khusus untuk murid-murid, terutama untuk yang kurang menguasai Matematika.

            “Kenapa sensei tidak makan malam duluan saja?” tanya shikigami, dia sudah terbiasa menyebut Hiroyuki dengan sensei, tidak lagi dengan suamiku. Hal itu membuat hubungan Hiroyuki dan shikigami menjelma jadi kakak adik sesungguhnya, meski fisik shikigami mengambil rupa Yuka. Tak ada debaran saat bersama shikigami. Hiroyuki tersadar dari lamunan dan menjitak kepala shikigami, “Mau diletakkan di mana makan malam jika kau menggunakan satu-satunya meja di apartemen ini untuk buku-bukumu?”

            Shikigami menyengir, “Yosh! Aku akan segera membabat habis soal-soal ini!”

            “Kenapa kau ingin menjadi guru? Apakah impianmu adalah guru?” Yuka melontar pertanyaan. Shikigami yang masih sibuk menulis menyatakan pertanyaan Yuka, kini Yuka mengendalikan shikigami.

            Hiroyuki termenung sejenak. “Impianku sejak kecil sebenarnya bukan guru melainkan seorang aktor, tapi ketika SMA… aku bersama Froshe dan Mai berkunjung ke tempat anak-anak putus sekolah, kami membuka taman bacaan bersama orang dewasa di sekitar sana dan memberi pengajaran. Karena aku suka matematika, aku mengajari anak-anak itu matematika. Kalau Froshe, dia mengajar bahasa inggris karena dia keturunan Inggris dan Mai memegang bahasa Jepang.”

            Yuka melekatkan pandangan ke Hiroyuki. Hiroyuki meneguk air sebentar lantas melanjutkan cerita, “Sejak itu dalam hatiku tumbuh pemikiran, ‘menyenangkan ya mengajar’. Lalu, aku memutuskan menjadi guru matematika.”

            “Apa itu artinya impianmu sudah terwujud?” tanya Yuka dan shikigami serempak.

            “Bisa dibilang begitu. Satu impian sudah terkabul.”

            “Apa menurutmu pilihan karirku untuk langsung bekerja setelah lulus benar?”

            Hiroyuki tersenyum lembut hingga Yuka merasa ada bunga-bunga yang bertebaran di sekeliling Hiroyuki. Wajah yang dianggapnya biasa saja itu mendadak menjadi lebih bersinar, hidup, dan mempesona. “Tak ada jawaban benar atau salah. Jika nanti kau ingin berhenti bekerja, kau bisa berhenti. Jika ingin melanjutkan sekolah, kau bisa melanjutkan. Hidupmu kini bukan milikmu sendiri. Hidupmu adalah hidupku juga. Kau masih muda, mencoba, fokus, dan kerja keras adalah rumusnya. Bekerja atau melanjutkan pendidikan semuanya baik jika kau menjalankannya dengan rumus yang baik.”

            Kata-kata halus itu merasuk dalam jiwa Yuka hingga pipinya memerah.

            “Aku hanya bisa bilang, temukan passion dan bersungguh-sungguhlah, ceburkanlah dirimu dalam passion itu. Suatu hari, kau akan menerima hadiah dari hasil tidak menyerahmu. Yuka, menurutmu… apa passion-mu? Sesuatu yang ingin kau lakukan atau suka kau kerjakan,” tanya Hiroyuki.

            Yuka mengeryitkan dahi, “Sebenarnya aku… ingin seperti Eriko Ono[1] sensei atau Kyoko Komagai[2] sensei. Tapi, aku tak bisa menggambar…”

            Hiroyuki menarik senyum, ia teringat surel Tuan Kuraki yang sering bercerita soal kegemaran Yuka membaca komik dan menulis cerita. “Kau bisa menulis cerita?” imbuh Hiroyuki. Yuka menganggut.

            “Kau pernah baca Bakuman[3]?

            “Ya, tapi aku tak punya teman seperti Mashiro Moritaka,[4]

            “Bagaimana dengan menjadi novelis saja?”

            Yuka terdiam. “Pikirkan saja pelan-pelan, mulailah latihan menulis untuk mewujudkan mimpimu setelah ujian.” Hiroyuki berseru bijak. Yuka tersenyum kecil, “Terima kasih atas sarannya.”

            Tanpa mereka berdua sadari, sedari tadi shikigami hanya fokus pada soal Matematika hingga dia berteriak, “Yatta!” dan menyodorkan lembar-lembar soal itu pada Hiroyuki. Yuka terkesiap, apa tadi… apa tadi Hiroyuki-han berbicara langsung denganku? Eh? Tidak mungkin, kan? Aku masih tak terlihat!. Yuka melirik takut-takut pada Hiroyuki. Hiroyuki yang berwajah tenang itu tengah memeriksa lembar soal, “Jika begini, kau bisa setidaknya mendapat nilai 50…” Hiroyuki menyeringai, “Kita mungkin perlu belajar di pagi hari juga,” tandasnya bak setan bertanduk.

●●●

Bruuk!

            Langkah kaki Hiroyuki, Yuka, dan shikigami berhenti di depan gerbang sekolah saat berpapasan dengan seorang gadis muda yang jatuh terduduk. Shikigami segera mengulurkan tangan dan gadis muda dengan setelan kemeja biru dan rok hitam selutut itu meraih tangan shikigami. “Terima kasih,” tukasnya.

            “Anda baik-baik saja? Ada yang luka?” tegur Hiroyuki.

            Gadis itu memeriksa tubuh dan menemukan lecet di bagian lutut. “Hanya luka kecil, saya… saya… saya akan ke UKS untuk mengobatinya.”

            “Wow lihat siapa di sini!” Miki menghampiri gadis muda itu dan tergelak sembari memanggil Isamu dan Tsuneo untuk mendekat. “Si peramal!” seru ketiga serangkai itu berbarengan.

            Hiroyuki mengamati si gadis yang dipanggil peramal oleh tiga muridnya. Dari cerita yang ia dapatkan tentang peramal khususnya peramal di taman hiburan, peramal itu berpenampilan nyentrik namun gadis muda ini biasa sekali. Tak ada satu bagian pun darinya yang merujuk pada peramal. “Tanpa kostum dan make up aneh itu, Anda cantik juga!” puji Miki girang.

            “Ah! Kalian, anak-anak SMA yang bawel dan meminta diskon!” balas gadis muda seraya menunjuk pada Miki, Isamu, dan Tsuneo.

            “Kenapa Anda di sini? Apa lapak ramal Anda sudah pindah ke sini?” tegas Isamu, ia menaik-turunkan kacamata mengamati penampilan peramal. “…jangan bilang Anda akan praktek mengajar?”

            Gadis muda itu membungkukkan badan, “Permisi.” Tanpa menjelaskan apa pun, gadis itu berlalu masuk ke dalam lingkungan sekolah.

            “Peramal itu?” tanya Hiroyuki pada Miki. Miki mengangguk cepat, “Kalau dia di sini, kita bisa minta dia mencari pelaku pencuri gulungan, kan? Dia punya kemampuan ramal yang hebat!”

            ●●●

“Nama saya Takaya Miwa. Usia dua puluh dua tahun. Saya mahasiswi jurusan matematika,” gadis muda dengan plester menempel di lutut kanan dan kiri itu membungkukkan badan lalu bangkit dengan senyum mengembang.

            Hiroyuki sebenarnya tak suka ada guru praktek di kelasnya terutama karena kelas ini kelas tiga, tapi kepala sekolah ngotot meletakkan Takaya Miwa di kelas 3C meski hanya sebagai asisten Hiroyuki. “Baiklah, Takaya-san terima kasih atas perkenalannya. Hari ini kau bisa sedikit bersantai karena tugasmu adalah mengawasi anak-anak ini ujian.” Hiroyuki membagi kertas soal ke Miwa. Miwa mengedarkan kertas-kertas itu dengan kikuk.

            Selesai ujian, Miwa menjalankan tugas selanjutnya yaitu mengumpulkan berkas jawaban dan akan memeriksanya bersama Hiroyuki. Sebelum Miwa dan Hiroyuki beranjak dari pintu kelas, Yuka mengirim sinyal cemburu yang membuat Hiroyuki bergidik.

            “Aku dengar dari Miki, kau seorang peramal di taman hiburan?” Hiroyuki membuka percakapan setelah mereka mencapai ruang guru. Miwa mengangguk kecil, “Hanya bisnis penerus keluarga.”

            “Keluargamu peramal?”

            “Bi-bisa dibilang begitu…” Miwa terdengar skeptis.

            “Tempo hari, ketika murid-muridku datang dan menanyakan perihal gulungan yang hilang. Kau mengatakan gulungan itu di Perserikatan Anti Sihir, boleh aku tahu darimana kau tahu?”

            Miwa tersentak, “…rahasia perusahaan.”

            Hiroyuki menarik senyum dan mengulurkan sekotak kue beras dari dalam laci. Ia membuka kotak itu dan menyodorkannya pada Miwa. “Kau meramal dengan apa?” lanjut Hiroyuki bagai petugas introgasi kepolisian, mungkin karena bergaul dengan Froshe dan Mai makanya Hiroyuki bisa memerankan tugas ‘petugas introgasi’.

            Tangan mulus Miwa mengambil kue beras dan memakannya dengan malu-malu. “Saya meramal dengan… intuisi.”

            “Benarkah? Boleh aku minta diramal sekarang?” Hiroyuki melambaikan senyum, Miwa membalasnya dengan anggukan. “Di mana keberadaan Perserikatan Anti Sihir dan siapa pencuri gulungan?” tukas Hiroyuki pelan.

            Miwa cepat-cepat menelan kue beras dan mengerjap-ngerjapkan mata.

            Hiroyuki menunggu respons Miwa dengan tak sabar sambil melirik berkas jawaban soal yang telah diisi oleh para murid. “…saya tak tahu,” desis Miwa. Tanpa mengulur waktu, gadis muda itu berdiri dan pamit berlalu dari hadapan Hiroyuki.

            [Peramal yang di taman hiburan itu menjadi guru praktek di tempatku mengajar.] Hiroyuki mengirim pesan ke Froshe.

            [Aku juga menemukan biodatanya. Keluarganya peramal, dan mereka dinyatakan menghilang sejak tiga tahun lalu.]

            Hiroyuki mencermati jawaban pesan dari Froshe.

            [Hipotesisku, keluarga itu diculik oleh Perserikatan Anti Sihir –kau tahu, peramal termasuk penyihir yang harus dimusnahkan menurut perserikatan itu.] Froshe mengirim pesan lagi. Hiroyuki menatap tulisan di layar telepon genggam itu dengan pikiran berkecamuk.




[1] Pengarang komik Miiko
[2] Pengarang komik Scarlet Fan
[3] Salah satu judul komik, karangan Ohba Tsugumi dan Obata Takeshi
[4] Salah satu tokoh utama yang bertugas sebagai penggambar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Kerangka Karangan (Outline) Novel

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Mai Kuraki in the poetry