Lebih Jleb Dari Penolakan Editor

"Kita tak bisa membahagiakan semua orang, tak juga mengecewakan semua orang karena pasti ada dua sisi mata uang untuk kita."
-Pikiran saya-

(https://japanesestrategies.files.wordpress.com/2015/04/1422593177-ghostwriter_ep3_video-thumbnail.jpg. Touno Risa di drama Ghost Writer)

Sebagai seseorang yang ingin menenggelamkan diri di dunia penulisan khususnya fiksi, saya harus berani 'menemui' editor. Bermodal nekat, mengirim naskah melalui surel atau pos dilakukan. Yap! Nekat saja, kalau nggak nekat nggak akan ada perubahan. Seperti kalimat-kalimat dari lagu Try Again-nya Mai Kuraki,

"Aku bergerak maju dengan nekatnya. 
Jika aku tak melihat ke atas meski hanya sekejap, aku akan dihancurkan oleh kekhawatiran. 
Aku yakin kau sedang memandangi sebuah mimpi,
Kau menginginkannya menjadi nyata.
Kau sudah ingin menangis meski begitu, kau masih mengejarnya.
Apakah kau mau menyerah begitu saja?
Kenyataan masih begitu jauh sekarang, tak bisakah kau lihat?"


Apa yang saya dapatkan dari naskah yang saya kirimkan?

Tentu, surat kasih baik secara fisik jika saya mengirim dengan jalur pos atau surel kasih jika melalui surel. 

Begini contoh surel kasih yang isinya sama saja dengan surat kasih, beda cuma dibentuk.






 (contoh balasan dari para editor)

Saya paling kebal dengan surat dan surel kasih dari para editor yang saya ganggu dengan naskah-naskah saya. Setiap kali menerima balasan mereka, saya akan membaca, print out (untuk surel) lalu memajang semua surat dan surel kasih itu di dinding sebagai jejak.

Kalau ditanya soal isi, sudah barang tentu semuanya berpusat pada kata 'penolakan', tapi kata itu dihaluskan menjadi, 'belum bisa kami terbitkan'

Biasanya, para editor akan 'memuji' atau langsung to the point ke kekurangan naskah yang ujung-ujungnya kalimat maaf naskah dikembalikan atau maaf belum bisa diterbitkan atau variasi kalimat lain.

Karena sudah terlatih sejak SMA, saya sudah tidak menitikkan air mata lagi melihat surat para editor *ehem*

Dulu, penolakan editor membuat mata saya panas sampai berair, kini saya bisa membaca surat dan surel itu dengan lapang dada, sampai menghias dinding dengan surat-surat tersebut, terbiasa.

Kini, yang membuat saya sesak dan mata panas adalah saat saya membaca kekecewaan pembaca terhadap apa yang saya tulis. Pembaca bilang mood-nya jadi jelek karena tulisan saya.

Glek!

Jleb!

Duaaar!

Bak petir di siang bolong cerah.

Rasa mengecewakan orang lain itu lebih pedih dari menerima surat dan surel kasih para editor. Bahkan lebih pedih dari perkataan pembimbing saya tatkala tugas akhir, ketika pembimbing saya bilang, "Kamu itu pernah nggak sih ambil kelas *nama mata kuliah*?". Beliau sampai terucap itu saking begonya saya yang nggak bisa apa-apa. Rasanya bodoh banget, menyesakkan, dan saya langsung down. Sensasi waktu itu dan penolakan editor tidak lebih menyesakkan dibandingkan rasa kecewa pembaca.

Maafkan saya! Maaf telah mengecewakan!

Karena itu,
 
Dear, 

(calon) pembaca dulu, sekarang, atau di masa depan. .

Jika kamu membaca tulisan saya dan apa yang kamu baca mengecewakan, tolong maafkan saya. Saya masih butuh banyak belajar dan memperbaiki diri. 

Terima kasih telah meluangkan masa untuk menyimak apa yang saya ketik.

Sekali lagi, terima kasih atas kehadirannya dalam perjalanan saya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Mai Kuraki in the poetry

Contoh Kerangka Karangan (Outline) Novel